Dari Musa bin salamah al-Hudzali, ia berkata, “Aku berangkat bersama Sinan bin Salamah untuk mengerjakan umrah. Sinan berangkat sambil menggiring unta kurbannya. Tiba-tiba untanya sekarat di tengah jalan. Sinan tidak tahu harus diapakan untanya yang sekarat itu, apa yang harus dilakukannya? Sinan berkata, “Setibanya di Makkah aku akan menanyakan masalah ini.” Kami berjalan pada waktu dhuha lalu tibalah kami di al-Batha’. Maka berangkatlah Sinan menemui ‘Abdullah bin ‘Abbas, kami berbincang-bincang dengan beliau. Lalu Sinan menceritakan kisah untanya. ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata, “Engkau berjumpa dengan orang yang mengetahuinya. Sesungguhnya Rasulullah saw. mengirim enam belas ekor unta kurban bersama seorang laki-laki dan beliau menugaskannya untuk menggiring unta-unta tersebut. Laki-laki itu berangkat, namun kembali lagi dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan terhadap unta-unta yang mau mati?” Rasulullah saw. menjawab, ‘Sembelihlah unta itu lalu rendamlah tapal kakinya ke dalam darahnya kemudian gantungkanlah tapal kaki tersebut pada sebelah lehernya. Dan janganlah engkau dan rekan-rekanmu memakan dagingnya,” (HR Muslim [1325]).
Dalam riwayat lain disebutkan, “Jika di antara unta-unta itu ada yang sekarat dan engkau khawatir akan mati, maka sembelihlah. Lalu celupkanlah tapal kakinya ke dalam darahnya lalu gantungkanlah pada sebela lehernya. Janganlah engkau dan rekan-rekanmu memakannya,” (HR Muslim [1326]).
Kandungan Bab:
- Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh Shahiih Muslim (IX/77), “Jika hewan kurban dalam kondisi sekarat (hampir mati), maka harus disembelih dan membiarkan dagingnya untuk fakir miskin. Dan dagingnya tidak boleh dimakan olehnya dan rekan-rekannya yang berjalan bersamanya, baik rekannya itu berbaur bersamanya ataupun bersama orang lain tanpa berbaur. Sebab pelarangan tersebut adalah menutup kemungkinan adanya usaha sebagian orang untuk menyembelih unta itu atau menbuatnya cacat sebelum tiba waktunya.”
- Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authaar (V/191), “Zhahirnya tidak ada beda antara hewan kurban yang tathawwu’ ataupun wajib.”
- Beliau juga mengatakan (V/190), “Jika ada yang mengatakan: Jika anggota kafilah (rombongan) tidak boleh memakannya dan kalian katakan harus ditinggalkan begitu saja tentu akan menjadi santapan binatang buas. Dan ia merupakan bentuk penyia-nyiaan harta.”
Maka kami jawab, itu bukanlah menyia-nyiakan harta, namun biasanya penduduk kampung akan mengikuti jejak rombongan jama’ah haji untuk mengumpulkan barang-barang yang tercecer. Kadang kala satu kafilah menyusul di belakang kafilah yang lain.”
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.