Larangan Melempar Jumrah ‘Aqabah Al-Kubra Sebelum Terbit Matahari

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, ia berkata, “Rasulullah memberangkatkan kami, ughailimah (anak-anak) Bani ‘Abdil Muthalib, terlebih dulu dengan mengendarai keledai-keledai. Beliau menepuk paha kami seraya berkata, “Hai anak-anak, janganlah melempar jumrah hingga terbit matahari,” (Shahih, HR Abu Dawud [1940 dan 1941], at-Tirmidzi [983], an-Nasa’i [V/271-272], Ibnu Majah [3025], Ahmad [I/132, 234, 277, 311], al-Baghawi [1942 dan 1943], Ibnu Hibban [3869]).

Kandungan Bab: 

  1. Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VII/175): “Hadits ini merupakan dalil bolehnya kaum wanita dan orang-orang lemah bertolak dari Muzdalifah sebelum terbit fajar pada hari Nahar (hari ‘Iedul Ad-ha) setelah lewat tengah malam.” 
  2. Tidak boleh melempar jumrah ‘Aqabah sebelum terbit matahari. Al-Baghawi berkata (VII/176), “Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas ini merupakan dalil tidak dibolehkannya melempar jumrah ‘Aqabah melainka setelah terbit matahari. Itulah yang paling afdhal, baik bagi yang bertolak sebelum terbit fajar maupun bagi yang bertolak sesudahnya.”

    Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata dalam Fathul Baari (III/528-529), “Bila saja orang-orang yang diberi dispensasi (untuk bertolak lebih dulu dari Muzdalifah) dilarang lagi bagi yang tidak diberi dispensasi.” 

  3. Pihak yang membolehkan melempar jumrah sebelumu terbit matahari berhujjah dengan Asma’, “Bahwasanya ia mabit (bermalam) di Muzdalifah, lalu ia bangkit mengerjakan shalat. Ia mengerjakan shalat beberapa saat kemudian berkata, ‘Hai bunayya, apakah bulan telah hilang?’ Aku menjawab, ‘Belum! Lalu meneruskan shalat selama beberapa saat kemudian bertanya lagi, ‘Hai bunayya, apakah bulan telah hilang?’ ‘Ya sudah!’ jawabku. Asma’ berkata, ‘Berangkatlah!’ Maka kami pun berangkat dan terus berjalan sampai kemudian Asma’ melmpar jumrah kemudian kembali lalu mengerjakan shalat Subuh di kemahnya.’ Aku berkata kepadanya, ‘Wahai ibu, menurutku kita terlalu pagi melaksanakannya.’ Ia menjawab, ‘Wahai anakku, sesungguhnya Rasulullah mengizinkannya bagi kaum wanita’,” (HR Bukhari [1679] dan Muslim [1291]).

    Guru kami Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata dalam kitab Hajjatun Nabi saw, hal. 80, “Tidak dibolehkan melempar jumrah ‘Aqabah pada hari Nahar (hari ‘Iedul Ad-ha) sebelum terbit matahari, meskipun orang-orang lemah atau kaum wanita yang dibolehkan bertolak dari Muzdalifah lewat tengah malam. Mereka harus menunggu sampai terbit matahari kemudian baru dibolehkan melempar. Berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. (yang telah disebutkan di atas). Dan hadits ini tidak boleh dipertentangkan dengan hadits Asma’ binti Abi Bakar dalam Shahih al-Bukhari yang menyebutkan bahwa setelah Rasulullah saw wafat, ia melempar jumrah kemudian sesudahnya ia mengerjakan shalat Subuh. Karena belum jenas benar ia melakukan itu atas izin dari Rasulullah saw, lain halnya dengan izin bertolak dari Muzdalifah lewat tengah malam, karena Rasulullah saw secara jelas telah membolehkannya. Boleh jadi ia memahami dispensasi bertolak dari Muzdalifah lewat tengah malam bermakna dibolehkannya melempar jumrah pada malam hari. Sementara belum sampai kepadanya larangan Rasulullah saw yang dihafal oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a.” 

  4. Guru kami, Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata, “Namun ada dispensasi pada hari Nahar (hari ‘Iedul Adha) melempar jumrah setelah tergelincir matahari walau sampai malam hari. Keringanan ini dapa dimanfaatkan bagi yang mendapatkan kesulitan melempar pada pagi hari. Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. pernah ditanya pada hari Nahar di Mina, beliau menjawab, ‘Tidak masalah.’ Seorang laki-laki bertanya, ‘Aku mencukur rambut sebelum menyembelih kurban?’ Rasul menjawab, ‘Tidak mengapa sembelihlah!’ Yang lain bertanya, ‘Aku melempar jumrah sore hari.’ Rasul menjawab, ‘Tidak mengapa’,” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan yang lainnya.

    Inilah pendapat yang dipilih oleh asy-Syaukani, sebelumnya Ibnu Hazm juga berpendapat demikian dalam kitab al-Muhallaa, ia berkata, “Sesungguhnya yang dilarang oleh Rasulullah saw. adalah melempar jumrah sebelum terbit matahari pada hari Nahar. Dan membolehkan melemparnya setelah itu meski sampai sore, mencakup juga malam hari dan waktu petang sekaligus.

    Ingatlah keringanan ini niscaya engkau akan selamat dari melakukan perkara yang dilarang oleh Rasulullah saw, yaitu melempar jumrah sebelum terbit matahari yang banyak dilakukan oleh jama’ah haji dengan alasan darurat.” 

  5. Mayoritas ahli ilmu mendahulukan hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. At-Tirmidzi berkata (III/240), “Mayoritas ahli ilmu mengambil hadits Nabi yang menyebutkan bahwa mereka tidak melempar jumrah hingga terbit matahari. Sebagian ahli ilmu memberikan dispensasi melemparnya pada malam hari (sebelum terbit matahari). Mengamalkan hadits Nabi yang menyebutkan bahwa mereka tidak melempar (sehingga terbit matahari) merupakan pendapat Sufyan ats-Tsauri dan asy-Syaf’i.”

    Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VII/176), “Yang pertama lebih afdhal, yaitu melempar jumrah setelah terbit matahari pada waktu Dhuha pada hari Nahar.”

    Saya katakan, “Dispensasi yang disebutkan oleh sebagian ahli ilmu bukanlah berlaku umum seperti yang dipahami oleh sebagian orang awam. Namun berlaku khusus bagi orang-orang lemah seperti anak-anak dan kaum wanita. Hendaklah diperhatikan baik-baik bagi yang mengira adanya kelapangan hingga berfatwa bolehnya melempar jumrah sebelum terbit matahari untuk orang-orang yang mendapat dispensasi maupun yang tidak mendapat dispensasi, hanya kepada Allah kita memohon keselamatan.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.