Larangan Menjadikan Punggung Hewan Sebagai Tempat Duduk

Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Janganlah menjadikan punggung hewan tunggangan kalian sebagai mimbar-mimbar (tempat duduk). Sesungguhnya Allah SWT telah menundukkannya untuk kalian agar kalian sampai ke negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya melainkan dengan susah payah. Dan menjadikan bagi kamu hamparan bumi yang di atasnyalah kamu menunaikan kebutuhanmu,” (Hadits shahih, HR Abu Dawud [2567], al-Baghawi meriwayatkan dari jalurnya [2683], al-Baihaqi [V/255], ath-Thahawi dalam Musykiul Aatsaar [38], Ibnu Asakir [XIX/ 1785]).

Sahal bin al-Hanzhalah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melewati seekor unta yang hampir bertautan punggung dengan perutnya. Beliau bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah dalam memperlakukan binatang-binatang ternak yang tidak bisa berbicara ini. Tunggangilah ia dengan baik dan makanlah dengan baik pula’,” (Shahih, HR Abu Dawud [2548], Ahmad [IV/180-181], Ibnu Hibban [545] dan ath-Thabrani dalam al-Kabiir [5620]).

Dari Mu’adz bin Anas r.a. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Tunggangilah binatang-binatang ini dengan selarnat, biarkanlah ia dengan selamat dan janganlah kalian jadikan punggungnya sebagai tempat duduk,” (Shahih, HR Ahmad [HI/440 dan IV/234], Ibnu Hibban [5619], al-Hakim [1/444 dan 11/100], al-Baihaqi [V/225], ath-Thabrani [XX/159/431] dan Ibnu Asakir [III/ 91/1]).

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya menjadikan punggung hewan ternak sebagai kursi atau mimbar (tempat duduk) tanpa ada keperluan, karena akan menyebab-kan hewan tersebut letih dan menyulitkannya. Dan juga perbuatan ter-sebut merupakan sifat orang-orang takabbur dan congkak. 
  2. Jika ada yang mengatakan bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. pernah berkhutbah di atas tunggangannya, jawabnya adalah seperti yang telah disebutkan oleh ath-Thahawi dalam Musyikul Aatsaar (1/35), “Rasulullah saw. pernah berkhutbah sambil duduk di atas hewan tunggangannya. Namun tidak mungkin perbuatan beliau menyelisihi perkataan beliau yang telah kita sebutkan dalam dua hadits di atas yang berisi larangan menjadikan punggung hewan sebagai tempat duduk untuk berkhutbah di atasnya yang mana tidak ada gunanya ia duduk di atasnya. Dan tidak ada keutamaan baginya duduk berkhutbah di atas hewan tunggangan dibanding dengan duduk di atas lantai berdasarkan hadits tersebut. Sekiranya duduk di atas punggung binatang memiliki nilai keutamaan tentunya tidak ada kondisi darurat yang memaksanya harus melakukan hal itu. Dan juga berarti telah memakai hewan tersebut untuk sesuatu yang tidak perlu dilakukan.

    Adapun duduknya Rasulullah saw. di atas punggung hewan tunggangan beliau saat menyampaikan khutbah di hadapan manusia adalah untuk memperdengarkannya kepada mereka perintah dan larangan beliau. Tentunya dalam kondisi seperti itu tidak memungkinkan baginya untuk duduk di atas lantai. Sebab, menyampaikannya dengan duduk di atas lantai tentu tidak akan dapat didengar dari beliau apa yang menjadi perintah dan larangan beliau, lain halnya bila beliau menyampaikannya di atas punggung hewan tunggangan.

    Jadi, khutbah beliau di atas punggung hewan tunggangan adalah untuk suatu kondisi yang memaksa beliau melakukannya.

    Adapun larangan yang disebutkan dalam dua hadits di atas, yaitu larangan menjadikan punggung hewan sebagai tempat duduk atau mimbar, berlaku apabila tidak ada keharusan dan darurat untuk melakukannya. Maka dengan demikian kedua hadits tersebut dapat ditempatkan sesuai dengan tempatnya, yaitu antara hadits yang menyebutkan khutbah beliau di atas punggung hewan tunggangan yang seolah menyelisihi makna hadits yang berisi larangan. Dengan bentuk penggabungan seperti itu dapatlah ditolak anggapan adanya pertentangan antara keduanya.”

    Abu Sulaiman al-Khaththabi berkata dalam Ma’aalim Sunan (III/394-395), “Telah diriwayatkan secara shahih bahwa Rasulullah saw. berkhutbah di atas hewan tunggangan beliau dan berdiri di atasnya. Hadits itu menunjukkan bahwa berdiri di atas punggung hewan apabila dilakukan untuk suatu kepentingan atau untuk menyampaikan perkara penting yang tidak mungkin turun dari hewan tunggangan tersebut adalah dibolehkan. Larangan tersebut berlaku apabila di-lakukan tanpa kepentingan atau keharusan, yaitu seseorang berdiam di atasnya atau menjadikannya sebagai tempat duduk semata sehingga menyulitkan hewan tersebut tanpa adanya kebutuhan untuk itu.”

    Al-Mundziri menukil perkataan beliau ini dalam kitab Mukhtashar as-Sunan (III/394-395) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XI/32-33) dan keduanya menyetujuinya.

    Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata dalam kitab Tahdziibus Sunan (III/ 394), “Adapun berdirinya Nabi di atas hewan tunggangan beliau pada haji Wada’ dan berkhutbah di atasnya, maka hal itu bukan termasuk yang dilarang. Karena hal itu beliau lakukan untuk maslahat umum pada waktu-waktu tertentu saja. Dan hewan tunggangan tersebut juga tidak kelelahan dan keletihan seperti halnya bila dilakukan tanpa ada kepentingan, tapi hanya sekedar berdiam diri di atasnya atau menjadikannya sebagai tempat duduk lalu ia berbincang-bincang di atasnya tanpa turun dari hewan tunggangannya. Karena hal itu akan terus berulang dan akan memakan waktu yang lama. Beda halnya khutbah beliau saw. di atas kendaraan untuk memperdengarkannya kepada manusia, mengajari mereka hukum-hukum Islam dan tata cara manasik haji. Hal itu tentu tidak terjadi berulang kali dan tidak memakan waktu lama. Dan juga maslahatnya dapat dirasakan secara umum.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/503-506.