Larangan Menjatuhkan Hukuman Lebih dari 10 Kali Selain Hukum Hudud

Hukum Pidana

Diriwayatkan dari Abu Burdah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah mencambuk lebih dari sepuluh kali cambukan kecuali dalam hukum hudud,” (HR Bukhari [6848] dan Muslim [1708]).

Kandungan Bab:

  1. Para ulama berselisih pendapat tentang maksud hukum hudud dalam hadits di atas. Apakah maksudnya hukuman yang telah ditentukan kadarnya oleh syari’at, seperti hukuman zina, mencuri, minum khamr, menuduh orang lain berzina tanpa bukti, memerangi Allah dan rasul-Nya, membunuh, qishash pribadi atau kelompok, dihukum mati karena murtad ataukah maknanya umum, meliputi semua perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:”Itulah larangan Allah, maka janganlah engkau mendekatinya…,” (Al-Baqarah: 187). Dalam firman-Nya, “Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zhalim,” (Al-Baqarah: 229). Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarh Sunnah (X/343-344), “Hukum Allah (hudud) ada dua macam: Pertama, hukum yang tidak boleh didekati, seperti zina dan sejenisnya. Allah berfirman, “Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya…,” (Al-Baqarah: 187). Kedua: Hukum yang tidak boleh dilanggar, seperti menikah lebih dari empat dan sejenisnya. Allah berfirman, “Itulah hukum-hukum Allah maka janganlah kamu melanggarnya…,” (Al-Baqarah: 229). ku katakan, hudud yang dikatakan dalam hadits maksudnya adalah hukum hudud yang telah ditetapkan kadarnya, bedasarkan beberapa alasan berikut ini: a). Hukum hudud yang telah ditetapkan oleh syari’at semuanya lebih dari sepuluh kali cambukan, maka pengecualian dalam hadits di atas adalah benar. (b) Kalaulah kita bolehkan hukum cambuk lebih dari sepuluh kali dalam semua bentuk pelanggaran hak Allah maka tidak ada satu pun yang boleh dikhususkan larangannya. Tentunya secara tidak langsung kita telah membatalkan kandungan hadits.
  2. Sebagian ulama membedakan hukum ta’zir antara dosa-dosa besar. Mereka membolehkan hukum cambuk lebih dari sepuluh kali, dan mereka menyebutkan hukum hudud. Mereka berdalil dengan ayat di atas. Mereka memasukkan dosa-dosa kecil dalam pengecualian tersebut. Menurut mereka itulah yang dimaksud dengan larangan menambah lebih dari sepuluh kali cambukan yang disebutkan dalam hadits (yaitu untuk dosa kecil).Saya katakan, ini merupakan pemisahan tanpa dalil dan penetapan hukum tanpa disertai nash. Karena yang dimaksud hukum ta’zir adalah pelajaran dan teguran. Pelanggaran yang dapat menyebabkan jatuhnya hukum hudud. Maka hukumnya juga tidak boleh sama dengan hukum hudud. Oleh karena itu syari’at menentukan batas hukuman tertinggi dalam hukum hudud dan tidak menetapkan batas hukum terendah. Dengan demikian hukuman berkisar di antara batasan tersebut menurut kadar kejahatan yang dilakukan, wallahu a’lam.
  3. Dengan demikian yang dimaksud bahwa hukum ta’zir berupa cambukan tidak boleh melebihi sepuluh kali cambukan. Hukuman itu sudah cukup mejadi teguran atas pelakunya. Oleh karena itu al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Baari (XII/179), “Hal itu mungkin dilakukan dengan sepuluh kali cambukan, bergantung kepada sifat dan cara mencambuk atau menderanya, antara cambukan yang kuat dan cambukan yang ringan.4. Hadits di atas tidaklah menafikan hukuman ta’zir lainnya yang juga bisa menjadi peringatan atas pelakunya, seperti membuat lapar, denda, penahanan seperti penjara, diasingkan, atau celaan dan cercaan. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam Fathul Baari (XII/179), “Benar, dapat diambil faidah dari hadits tersebut bolehnya menjatuhkan hukum ta’zir seperti membuat lapar, atau hukuman maknawiyah sejenitsnya.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/481-483.