Larangan Mencela Orang yang Menjalani Hukuman

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab r.a, bahwasanya ada seorang laki-laki pada zaman Nabi saw. yang bernama Abdullah. Julukannya adalah himar. Ia sering membuar ketawa Rasulullah saw. Nabi pernah menjatuhkan hukum cambuk kepadanya karena kasus minum minuman keras. Suatu hari ia dibawa ke hadapan Nabi, lalu beliau memerintahkan agar ia dicambuk. Seorang laki-laki berkata, “Ya Allah, laknatlah ia. Betapa besar dosa yagn ia lakukan.” Maka Nabi saw. bersabda, “Janganlah engkau melaknatnya. Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali dia adalah orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya,” (HR Bukhori [6780]).   Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Nabi saw. mendatangi seseorang yang sedang meminum khamr. Maka beliau memerintahkan agar ia didera. Diantara kami ada yang memukul dengan tanganny;a, ada yang memukul dengan sandalnya dan ada yang memukul dengan bajunya. Setelah selesai ada yang berkata,”Ada apa dengannya, mudah-mudahan Allah menghinakannya.” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian menjadi penolong syaitan atas saudara kalian,” (HR BUkhari [6781]).   Diriwayatkan dari Buraidah r.a, ia berkata, “Datang seorang wanita Ghamidiyah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya aku telah berzina, maka sucikanlah aku.’ Namun beliau  menolak persaksiannya. Keesokan harinya ia kembali dan berkata, ‘Wahai Rasulullah mengapa engkau menolakku? Barangkali engkau menolak persaksianku seperti engkau menolak persaksian Ma’iz. Demi Allah sesungguhnya aku sedang hamil.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Adapun sekarang tidak. Pergilah hingga engkau melahirkan.’ Setelah wanita itu  melahirkan, ia datang kepada Nabi dengan membawa bayinya dalam sebuah kain seraya berkata, ‘Ini aku telah melahirkan.’ Beliau berkata, ‘Pergilah dan susuilah ia hingga engkau menyapihnya.’  Setelah wanita itu menyapihnya, ia datang kepada Nabi saw. bersama bayinya sedang di tangannya ada sekantong roti. Iapun berkata, ‘Wahai Nabi, aku telah menyapihnya dan ia telah makan makanan.’ Maka beliau menyerahkan bayi itu kepada salah seorang kaum muslimin kemudian memerintahkan agar wanita itu dikubur sebatas dadanya dan memintahkan orang-orang untuk merajamnya. Lalu datanglah Khalid bin Walid dengan membawa dan melempar kepala wanita itu. Maka memerciklah darah ke wajah Khalid. Lalu ia memaci wanita itu. Nabi mendengar cercaan Khalid kepadanya, lalu ia bersabda:
‘Tahanlah wahai Khalid, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh ia telah bertaubat dengan taubat yang seandainya shohibul maksi (yakni pembantu orang zhalim yang biasa menarik pajak saat jual beli. Dan biasa disebut al-Jamaarik) bertaubat dengannya niscaya akan diampuni.’ Kemudian beliau memerintahkan agari ia shalatkan dan dikuburkan.”

Kandungan Bab:

  1. Larangan melaknat dan mencel seseorang yang sedang mejalani hukuman. Karena hukuman merupakan kafarah.
  2. Melaknat orang yang menjalani hukuman atau mencelanya adalah perbuatan menolong syaitan atas orang tersebut. Karena syaitan ingin menghiasi maksiat baginya agar ia mendapat kehinaan. Jika ia mendo’akan bagi saudaranya kehinaan, laknat atau cercaan, maka seakan-akan mereka mewujudkan keinginan syaitan.
  3. Boleh memberikan teguran atau kecaman terhadap orang yang menjalani hukuman atas perbuatan buruknya. Misalnya dengan mengatakan, “Tidakkah engkau taku kepada Allah?” atau “Tidakkah engkau malu kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin?”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/474-475.