Laragan Makan Atau Minum dengan Gelas Atau Piring yang Terbuat dari Emas

Diriwayatkan dari Abi Laila, ia berkata, “Hudzaifah pernah ditugaskan ke al-Madaain. Pada suatu ketika ia minta minum lalu Dihqan dengan membawa gelas yang terbuat dari perak. Hudzaifah melemparnya dengan gelas itu lantas berkata, “Sesungguhnya aku melemparnya karena sudah aku larang namun tidak juga berhenti. Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang kami memakai pakaian sutra, diihaj (pakaian yang terbuat dari sutra), serta minum dengan gelas yang terbuat dari emas dan perak. Beliau berkata, ‘Benda-benda itu untuk mereka (orang kafir) di dunia dan untuk kalian nanti di akhirat’,” (HR Bukhari [5632] dan Muslim [2067]).

Diriwayatkan dari Ummu Salamah isteri Nabi, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang minum dengan bejana dan perak sesungguhnya telah menggelegak api jahannam dalam perutnya,” (HR Bukhari [5634] dan Muslim [2065]).

Dalam riwayat lain berbunyai, “Sesungguhnya orang yang makan dan minum dari bejana atau piring yang terbuat dari emas atau perak…” (HR Muslim [2065]).

Ada beberapa hadits lain dlam bab ini dari al-Barra’ bin ‘Azib dan Anas bin Malik r.a.

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya makan dan minum dengan piring atau gelas yang terbuat dari emas atau perak. Barangsiapa melakukannya berarti ia telah menyerupai kaum yang telah dimurkai Allah yang telah merubah-rubah agama mereka. 
  2. Makan dan minum dari bejana yang terbuat dari emas atau perak dikhususkan untuk orang-orang kafir di dunia dan dikhususkan untuk kaum muslimin di akhirat isnya Allah. 
  3. Barangsiapa menggunakan bejana (gelas atau piring) dari emas atau perak berhak mendapat adzab jahannam. 
  4. Termasuk juga dalam hukum ini perkara yang dianggap sama dengan makan dan minum seperti memakai parfum atau celak (yakni diharamkan juga memakai minyak wangi dan celak dari tempat yang terbuat dari emas dan perak). 
  5. Hukum ini berlaku atas kaum pria dan wanita, kecuali perhiasan bagi kaum wanita. Wanita diperbolehkan memakainya, demikian pula cincin perak bagi kaum pria.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/102-10103.