Mengajak Syiah Bertaubat, Mungkinkah?

Syiah1

Oleh: Zahrul Bawady M. Daud

SEBAGAI agama samawi, Islam diperkenalkan melalui wahyu. Fase permulaan Islam berlangsung melalui dua sumber otentik yang terus dipelihara. Al-Quran dan Hadis merupakan sumber primer ajaran Islam. Islam tetap bertahan dengan dua sumber utama ini hingga akhir zaman.

Setelah mangkatnya nabi Muhammad, ummat Islam diterpa fitnah dari berbagai penjuru. Dari peristiwa kaum murtad pada masa Abu Bakar ra hingga terbunuhnya Usman ra yang menimbulkan instabilitas politik pada masa itu. Kericuhan politik yang didalangi oleh golongan munafik dan pembenci Islam ini kemudian melahirkan beberapa gesekan di antara kalangan ummat Islam. Kisruh politik bahkan merembes kepada perkembangan sekte-sekte baru. Pada masa ini pula lahir paham Syiah.

Membicarakan Syiah setidaknya melahirkan dua pembahasan. Secara fikih atau secara akidah. Ada beberapa pendapat ulama Syiah yang diterima oleh kalangan Sunni. Namun demikian, sangat banyak akidah Syiah yang bertentangan dengan keyakinan Sunni. Kenyataan ini harus membuat kita objektif dalam memilah bahwa yang dipertentangkan adalah konsep akidah Syiah, dengan melihat latar belakang kelompok yang masih terpecah belah.

Para ulama rentang zaman mencoba melakukan pendekatan (taqrib) antara Sunni dan Syiah. Namun sejauh ini, usaha yang digalang oleh ulama tersebut banyak menemui jalan buntu. Banyak ulama saat ini mulai ragu hal itu akan terwujud. Dr. Muhammad Imarah, cendikiawan Islam yang dulunya sangat demokratis dan mendorong lahirnya pendekatan Sunni–Syiah pun mulai angkat tangan. Dalam makalah beliau akhir-akhir ini, usaha pendekatan Sunni-Syiah dilabeli hampir mustahil.

Parahnya, kegagalan taqrib justru menjadi senjata menghakimi Sunni. Syeikh Umar Al-Quraysi, Guru Besar Akidah-Filsafat Al-Azhar menyebut, “Amat aneh, bagaimana sebuah kegagalan akibat kesalahan pemikiran golongan Syiah justeru menjadi bumerang bagi Sunni. Sunni dianggap pemecah belah, sok suci dan bertentangan dengan kebijaksanaan. ”
Beliau menyimpulkan bahwa peran media dan pemikir liberal amat urgent dalam mindset (pandangan) ini di kalangan ummat Islam.

Menurut Prof. Dr. Khusyui, membicarakan masalah Syiah amatlah rumit. Karena teori dan penerapan ideologi Syiah kesehariannya banyak yang bertentangan dengan prinsip yang diajarkan melalui kitab kitab Syiah sendiri. Hal ini tak lain karena akidah taqiyah (menyembunyikan ideologi) yang mereka terapkan. Di dalam al-Kafy, Kulainy bahkan meriwayatkan hadis maudhu’ (palsu) yang menyebut bahwa tidak beriman seseorang yang tidak melakukan taqiyah. Hal ini amat mengherankan mengingat bagaimana sebuah kepercayaan yang mereka pelajari, kemudian mereka khianati dengan lisan mereka sendiri.

Oleh karena itu, menjadi sebuah amanah ilmiah untuk membahas Syiah, bukan dari kasus perseorangan, akan tetapi dari sumber akidah mereka. Sebagaimana yang terangkum di dalam kitab Al-Kafy karya Al-Kulayni, yang dianggap ‘kitab suci’ menurut ulama mereka, atau kitab Fashl Khitab Fi Itsbat Kalam Rabbi Al-Arbab Karya Thabrisy yang berusaha menggugat orisinalitas al-Quran, maupun kitab-kitab ulama Syiah di era kontemporer.

Taqiyah inilah yang membuat Syiah semakin menyebar luas, terutama di kalangan masyarakat muslim yang belum kuat pegangan akidahnya. Tanpa merujuk kepada sumber yang muktabar, para pengemban dakwah Syiah berhasil menggaet jamaah, ditambah lagi dengan bantuan penganut paham liberalis yang membenarkan semua hal dikritik walaupun merubah inti ajaran Islam itu sendiri.

Kecintaan dan penghormatan kepada keluarga Nabi (ahl al-bait) tidaklah terlarang. Bahkan diperintahkan untuk semua kaum Muslim. Akan tetapi yang harus dikecam adalah langkah sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam mengangungkan ahl bait apalagi sampai mencela para Sahabat Nabi yang lain. Bahkan yang lebih ekstrim, ada anggapan bahwa Jibril seharusnya tidak menyampaikan wahyu pada Nabi Muhammad, akan tetapi pada Ali ra.

Pendapat seperti ini semakin diperparah dengan doktrin imamiyah dan kelemahan al-Quran.
Sebuah riwayat dari Baqir dalam kitab Al-Wafy yang dianggap valid di sisi Syiah imamiah meriwayatkan tentang orang orang yang tidak dilihat oleh Allah di hari kiamat dan mereka akan kekal di dalam neraka. Orang yang mengaku diri Imam, orang yang mengingkari imam (imam Syiah), orang yang menganggap Abu Bakar dan Umar sebagai sahabat mulia. Mereka juga mentakwil dua wanita kafir yang disebut dalam surat Tahrim:10 sebagai Aisyah dan Hafsah. Na’udzubillah.

Al-Majlisy (1111) ulama Syiah yang amat masyhur di dalam Bihar al-Anwar, meriwayatkan ideologi Syiah yang mengatakan bahwa imam-imam Syiah maksum (terlepas dari dosa) sebagaimana maksumnya para nabi. Baik dari dosa kecil maupun dosa besar, disengaja atau tidak. Puncaknya, martabat para imam akan sederajat dengan Nabi.

Lain lagi dengan Syiah Ismailiah, mereka meyakini reinkarnasi dan ketuhanan imam mereka. Syiah ini juga menjadi pelopor tidak wajibnya jumat dan boleh jamak (menggabungkan dua shalat) kapan saja. Berbagai pertentangan yang timbul antara Sunni dan Syiah dasarnya sangat sulit untuk disatukan. Demikian juga dengan Syiah Nushairiyah pengikut Muhammad bin Nushair, Darruz pengikut Abi Muhamad al-Darruzy yang terpecah dari Syiah Ismailiah dan sekte lain dari Syiah yang menyimpang dari Islam.

Kontradiksi antara Sunni dan Syiah dalam bidang akidah tidak bisa kita anggap sebagai sebuah khazanah keilmuan yang harus dipelihara. Akan tetapi lebih kepada pelecehan intelektual yang tidak bertanggung jawab dan dipenuhi oleh fanatisme buta. Konflik ini bahkan menjadi batu loncatan untuk menghancurkan Islam dari dalam melalui usaha desakralisasi wahyu.

Pendekatan Sunni-Syiah merupakan proyek gemerlap, yang menawarkan cahaya yang berkilauan. Akan tetapi usaha ini seperti diakui pula oleh Musthafa Siba’i hanya sebuah usaha sia-sia. Karena apa yang disepakati di meja runding, selalu dikhianati dalam penerapannya.
Usaha penyatuan Sunni-Syiah akan berhasil, dengan syarat Syiah bersedia membuka ‘baju’ Syiah yang mereka pakai. Kemudian bersama menghormati ahl al-bait sesuai kewajaran, lalu duduk bersama membahas mana permasalahan yang boleh terjadi perbedaan pendapat dan mana yang tidak. Jika ini tak terwujud, maka hadits Nabi yang mengatakan bahwa “ummatku tidak akan bersepakat di dalam kesesatan” akan terwujud pada usaha penyatuan Sunni-Syiah. Wallahu A’lam.*

Penulis alumni Dayah Bustanul Ulum, Mahasiswa Pasca Sarjana Al-Azhar, Kairo.zahrulbawady@yahoo.com