Larangan Berpuasa Bagi Wanita Haidh dan Nifas

Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. keluar pada hari ‘Idul Adha atau ‘Iedul Fithri menuju lapangan tempat shalat. Beliau menghampiri kaum wanita dan berkata, “Wahai sekalian wanita, bershadaqahlah! Sesungguhnya aku diperlihatkan kalian adalah penghuni Neraka yang paling banyak.” Mereka bertanya, “Mengapa demikian wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kalian suka mengutuk dan durhaka pada suami. Tidak pernah aku melihat makhluk selain kalian yang kurang akal dan agamanya akan tetapi dapat menghilangkan pertimbangan akal sehat kaum pria.” Mereka bertanya, “Bagaimana bentuk kekurangan agama dan akal kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bukankah persaksian seorang wanita sama dengan persaksian seorang pria?” Mereka menjawab, “Benar!” Rasul berkata, “Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah jika seorang wanita sedang haidh tidak mengerjakan shalat dan puasa?” Mereka menjawab, “Benar!” Rasul berkata, “Itulah kekurangan agamanya,” (HR Bukhari [304] dan Muslim [80]).

Kandungan Bab: 

  1. Haidh dan nifas termasuk pembatal puasa. Jika seorang wanita haidh atau nifas di siang hari, baik di awal siang ataupun akhirnya, batallah puasanya. Jika ia melanjutkannya, puasa dipandang tidak sah. Jika ia sengaja mengerjakan puasa, maka ia berdosa. 
  2. Wanita haidh dan nifas harus mengganti puasa seperti yang disebutkan dalam hadits Mu’adzah ketika ia bertanya kepada ‘Aisyah, “Mengapa wanita haidh harus mengganti puasa dan tidak mengganti shalat?” ‘Aisyah berkata, “Apakah engkau penganut Haruriyah?” Mu’adzah menjawab, “Aku bukan pengikut Haruriyah, namun aku hanya bertanya.” ‘Aisyah berkata, “Kami mengalami hal itu dan kami hanya diperintahkan untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat.”

Catatan:

Kekurangan yang dimaksud dalam hadits bukanlah maksudnya celaan terhadap kaum wanita dan merendahkan kedudukan mereka. Karena hal itu termasuk sifat-sifat yang menjadi tabiat dasar mereka. Tapi maksudnya adalah berlaku kasih sayang terhadap mereka, tidak terpedaya dan terfitnah dengan mereka. Oleh sebab itu, syari’at tidak menjatuhkan dosa atau siksa karena kekurangan tersebut.

Akan tetapi sebagian wanita yang kebarat-baratan dan sebagian kaum banci mencela hadits ini karena hakikat yang diungkapkan didalamnya. Sampai-sampai sebagian wanita yang menduduki jabatan kementrian di salah satu negara Arab mengomentari hadits ini dengan mengatakan, “Hadits ini jelek sekali disebutkan!” Lalu kaum banci bertepuk tangan menyambut ucapannya itu.

Tidak samar lagi bagi setiap orang yang berakal bahwa kesempurnaan memiliki tingkatan yang berbeda. Dan kekurangan tersebut merupakan hasil perbandingan kaum wanita dengan kaum pria bukan perbandingan sesama wanita. Barangsiapa ingin menjadi pria seperti wanita dalam bentuk fisik dan tabiat, maka sesungguhnya ia ingin merubah ciptaan Allah. Ia adalah syaitan yang durhaka dan berhak mendapat kemurkaan Allah.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/172-177.