Larangan Berkata Dusta dan Akhlak-Akhlak Yang Buruk Saat Mengerjakan Puasa

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya, maka Allah tidak memerlukan orang itu untuk meninggalkan makanan dan meminumannya (puasanya),” (HR Bukhari [1903]).

Masih dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Allah SWT berfirman, ‘Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri kecuali ibadah puasa. Ibadah puasa adalah untuk-Ku dan Aku-lah Yang akan memberikan langsung pahala untuknya. Ibadah puasa itu laksana perisai. Dan apabila salah seorang dari kalian berpuasa, maka janganlah ia berbuat rafats (berhubungan badan atau berkata tak senonoh) dan janganlah berbuat gaduh. Dan jika ada orang yang mencacinya atau menyerangnya hendaklah ia katakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’ Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah dari pada aroma wangi minyak kesturi. Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kegembiraan. Tatkala berbuka ia bergembira dan tatkala bertemu dengan Rabb-nya ia juga bergembira dengan ibadah puasanya’,” (HR Bukhari [1894] dan Muslim [1151]).

Masih dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Puasa itu bukan hanya menahan diri dari makan dan minum saja. Tetapi puasa itu adalah menahan diri dari kata-kata yang tidak bermanfaat dan kata-kata kotor. Oleh karena itu, bila ada yang mencacimu atau menjahilimu, maka katakanlah kepadanya, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa! Sesungguhnya aku sedang berpuasa’,” (Shahih, HR Ibnu Khuzaimah [1996] dan al-Hakim [I/430 dan 441]).

Dan masih dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Beberapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja dari puasanya’,” (Shahih, HR Ibnu Majah [1960], Ahmad [II/373 dan 441], ad-Darimi [II/301], al-Baihaqi [IV/270] dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [1747]).

Kandungan Bab:

  1. Ibadah puasa adalah wasilah (jembatan) menuju takwa sebagaimana yang Allah katakan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu bershiyam sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa,” (Al-Baqarah: 183)

    Oleh karena itu, orang yang benar-benar berpuasa yang meraih derajat yang tinggi dan diberi pahala tanpa hisab adalah orang yang mempuasakan seluruh anggota tubuhnya dari perbuatan doasa. Mempuasakan perutnya dari makanan dan minuman. Mempuasakan kemaluannya dari bersetubuh. Jika ia berbicara, maka bicaranya tidak merusak ibadah puasanya. Jika ia berbuat, maka perbuatannya tidak merusak ibadah puasanya. 

  2. Puasa yang disyari’atkan adalah mempuasakan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa, mempuasakan perut dan kemaluan dari syahwat, makanan dan minuman. Sebagaimana halnya makanan, minuman dan syahwat dapat membatalkan puasa demikian pula disa dapat memangkas pahalanya dan tidak merusak buah dari ibadah puasanya hingga ia seolah-olah orang yang tidak berpuasa. 
  3. Pengharaman kata-kata palsu dan beramal dengannya, berbuat gaduh, mencaci berbuat jahil dan bodoh serta perangai-perangai buruk lainnya atas orang yang berpuasa bukanlah berarti di luar puasa ia boleh melakukannya. Namun, maksudnya adalah larangan tersebut lebih ditegaskan saat ia berpuasa dan pengharamannya lebih keras atas orang yang berpuasa. 
  4. Jika perbuatan jahil dan bodoh itu dilakukan oleh orang lain terhadap orang yang berpuasa, maka janganlah ia membalasnya dengan perbuatan serupa. Namun, hendaklah ia menghadapinya dengan akhlak yang mulia dan selalu ingat bahwa ia sedang berpuasa dengan mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.”

    Sebagian ahli ilmu mengatakan: Hendaklah ia mengucapkan perkataan itu dengan suara yang dapat didengar sehingga bisa menjadi teguran atas orang yang mencaci atau menyerangnya. Sebagian ulama lainnya mengatakan: Hendaklah ia mengucapkannya di dalam hati agar ia terhindar dari tindakan membalas cacian atau serangan tersebut.

    Saya katakan, “Pendapat yang pertama lebih kuat dan lebih nyata. Sebab perkataan yang mutlak adalah perkataan lisan. Adapun perkataan dalam hati adalah yang muqayyad (khusus) seperti dalam sabda Nabi saw, ‘Sesungguhnya Allah memaafkan ummatku atas apa yang terbetik dalam hati mereka selama tidak mengucapkannya atau mengamalkannya’,”

    Maka jelaslah bahwa perkataan mutlak maksudnya adalah perkataan yang didengar yang diucapkan dengan suara huruf. Oleh sebab itu, definisi perkataan menurut ahli bahasa adalah kata-kata yang memiliki makna.

    Ibnu Malik berkata dalam buku Alfiyahnya, Definisi perkataan menurut kami adalah kata-kata yang memiliki mekna seperti istaqim (istiqamahlah), terdiri atas ism, fi’il kemudian huruf.

    Ini merupakan bantahan terhadap kaum Asy’ariyah, ahli bid’ah yang mengatakan adanya kalam nafsi (kata-kata dalam hati). 

  5. Termasuk adab orang yang berpuasa apabila dicaci hendaklah duduk jika ia sedang sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw, “Janganlah saling mencaci maki sementara kalian tengah berpuasa. Jika ada yang mencacimu hendaklah katakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Jika ia berdiri hendaklah duduk’,” (Shahih, HR Ahmad [II/428], Ibnu Khuzaimah [1994] dan Ibnu Hibban [3483]).

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/165-168.