Larangan Berciuman dan Bercumbu dengan Isteri Saat Berpuasa Bagi Para Pemuda

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash r.a, ia berkata, “Saat kami sedang duduk bersama Rasulullah saw tiba-tiba datanglah seorang pemuda dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah aku berciuman (dengan isteri) saat berpuasa?’ Rasul munjawab, ‘Tidak boleh!’ Lalu datang pula seorang tua dan bertanya, ‘Bolehkah aku berciuman (dengan isteri) saat berpuasa?’ Rasul menjawab, ‘Boleh!’ Maka kami pun saling memandang keheranan. Rasulullah berkata, ‘Sesungguhnya orang yang sudah tua lebih mampu mengendalikan nafsunya’,” (Hasan lighairihi, HR Ahmad [II/185, 221]).

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, ia berkata, “Diberi keringanan bagi orang yang sudah tua (untuk mencium isteri) saat berpuasa dan dilarang bagi para pemuda,” (Hasan, HR ath-Thabrani dalam al-Kabiir [11040] dan [10604]).

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw. tentang bercumbu (dengan isteri) saat berpuasa lalu Rasulullah memberikan keringan untuknya. Lalu datang laki-laki lain (bertanya hal serupa) namun Rasulullah melarangnya. Laki-laki yang diberi keringanan tersebut adalah seorang yang sudah tua adapun laki-laki yang dilarang adalah seorang yang sudah tua, adapun laki-laki yang dilarang adalah pemuda,” (Hasan, HR Abu Dawud [2387]).

Kandungan Bab:

  1. Bercumbu dan berciuman (dengan isteri) dibolehkan bagi orang yang berpuasa dengan syarat ia dapat mengendalikan nafsunya, seperti yang disebutkan dalam hadits Muttafaq ‘alaih dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “Rasulullah saw mencium (isterinya) saat berpuasa. Akan tetapi, beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya.” 
  2. Oleh sebab itu, Rasulullah saw memberi keringanan kepada orang yang sudah tua untuk bercumbu dan berciuman (dengan isteri) dan melarang para pemuda, karena orang yang sudah tua lebih mampu mengendalikan nafsu daripada pemuda. 
  3. Dan larangan ini kedudukan hukumnya adalah makruh tanzih (kehati-hatian), wallaahu a’lam.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/170-171.