Dari Hafshah, isteri Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa tidak memasang niat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya,” (Shahih, HR Dawud [2454], at-Tirmidzi [730], an-Nasa’i [IV/196], Ibnu Majah [70], Ahmad [VI/87], Ibnu Khuzaimah [1933], ad-Darimi [II/6 dan 7], al-Baihaqi [IV/202], ath-Thahawi dalam Syarh Ma’aani al-Aatsaar [I/54], Ibnu Hazm [VI/162]).
Dalam riwayat lain dengan lafazh, “Barangsiapa tidak berniat puasa sejak malam, maka tidak ada puasa baginya.”
Kandungan Bab:
- Berniat pada malam hari sebelum fajar merupakan syarat puasa karena penafian tersebut tertuju pada sah atau tidaknya puasa.
Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VI/269), “Para ahli ilmu sepakat bahwa puasa wajib, baik dalam rangka qadha’ atau kaffarat atau nadzar mutlak, tidak sah kecuali dengan berniat sebelum terbit fajar. Adapun puasa Ramadhan dan puasa nadzar tertentu, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa memasang niat merupakan syarat karena tergolong puasa fardhu.”
- Berniat sebelum fajar khusus bagi puasa fardhu, seperti puasa Ramadhan, puasa kaffarat atau puasa nadzar yang bukan tathawwu’ karena Rasulullah saw datang menemui ‘Aisyah ra di luar bulan Ramadhan lalu berkata, “Adakah makanan di tempatmu? Jika tidak ada, maka aku berpuasa,” (HR Muslim [1154]).
At-Tirmidzi berkata (III/108), “Sesungguhnya makna hadits ini menurut ahli ilmu adalah tidak ada puasa bagi yang tidak berpuasa sebelum terbit fajar pada bulan Ramadhan atau qadha’ puasa Ramadhan atau puasa nadzar. Jika ia tidak meniatkannya pada malam hari, maka tidak ada puasa baginya. Adapun puasa tathawwu’ ia boleh berniat setelah terbit fajar. Ini merupakan pendapat asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.”
- Dianjurkan memperbaharui niat setiap hari, karena merupakan ibadah yang berdiri sendiri yang gugur apabila telah keluar dari waktunya. Al-Baghawi berkata (VI/270), “Zhahir hadits ini merupakan dalil bagi pendapat mayoritas ulama, karena puasa tiap-tiap hari (di bulan Ramadhan) adalah ibadah yang berdiri sendiri, diperlukan niat yang tersendiri pula.”
- Niat tempatnya di dalam hati, melafazhkannya adalah bid’ah sesat meskipun orang-orang memandangnya baik.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/164-165.