Dari Shilah bin Zufar, ia berkata, “Suatu ketika kami duduk bersama ‘Ammar bin Yasir, lalu dihidangkanlah daging kambing yang telah disate. Ia berkata, ‘Makanlah.’ Lalu salah seorang menyingkir, ia berkata, ‘Aku sedang berpuasa.’ ‘Ammar berkata, ‘Barangsiapa berpuasa pada hari yang masih diragukan oleh manusia (apakah sudah masuk Ramadhan atau tidak) berarti ia telah mendurhakai Abul Qasim saw’,” (Shahih ligharihi, HR Bukhari secara mu’allaq dalam shahihnya [IV/119] dan diriwayatkan secara maushul oleh Abu Dawud [2334], at-Tirmidzi [686], an-Nasa’i [IV/153], Ibnu Majah [1645], Ibnu Khuzaimah [1914], ad-Darimi [II/2], al-Hakim [I/423], al-Baihaqi [IV/208]).
Dari Simak bin Harb, ia berkata, “Aku datang mengunjungi ‘Ikrimah pada hari yang diragukan apakah sudah masuk Ramadhan ataukah belum, aku dapati beliau sedang makan. Beliau berkata, ‘Kemarilah dan makanlah.’ ‘Aku sedang berpuasa’ jawabku. ‘Demi Allah kemarilah!’ katanya. ‘Sampaikanlah kepadaku haditsnya’ pintaku. Ia berkata, ”Abdullah bin ‘Abbas telah menderitakan kepadaku bahwa Rasulullah saw. berkata, ‘Janganlah mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa. Akan tetapi berpuasalah bila telah melihat hilal (hilal Ramadhan) dan berhari rayalah bila telah melihat hilal (hilal Syawal). Jika pandangan kalian terhalang oleh awan atau mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi tiga puluh hari’,” (Shahih, HR an-Nasa’i [IV/153-154], Ibnu Hibban [3590], Ibnu Khuzaimah [1912]).
Kandungan Bab:
- Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (IV/120), “Hadits ini dijadikan sebagai dalil haramnya berpuasa pada hari yang diragukan. Karena para Sahabat tidaklah mengatakan hal itu dari pendapat pribadi mereka. Jadi, dapat digolongkan sebagai riwayat marfu’. Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Menurut mereka riwayat tersebut musnad (memiliki rantai sanad) dan mereka tidak berselisih dalam hal ini.”
- Ini merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu dari kalangan Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka. Dalam bab ini masih banyak atsar-atsar lain dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Dhahhak, Ibrahim, asy-Sya’bi dan ‘Ikrimah,” (Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah [III/71-73] dan Sunanul Kubra karangan al-Baihaqi [IV/209]).
At-Tirmidzi berkata [III/70], “Inilah yang diamalkan oleh mayoritas ahli ilmu dari kalangan Sahabat Nabi dan para Tabi’in setelah mereka. Dan juga pendapat Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, ‘Abdullah bin Al-Mubarak asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Mereka menganggap makruh berpuasa pada hari yang diragukan. Dan menurut pendapat mayoritas, jika ia berpuasa lalu hari itu benar-benar telah masuk bulan Ramadhan, maka ia haru menggantinya pada hari yang lain.”
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/161-163.