Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah berpuasa (memulai puasa) hingga kalian melihat hilal, dan janganlah berbuka (berhari raya) hingga kalian melihat hilal. Jika terhalang oleh kalian (hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulannya’,” (HR Bukhari [1906] dan Muslim [1080]).
Kandungan Bab:
- Kaum Muslimin seharusnya menghitung bilangan bulan Sya’ban sebagai persiapan menyongsong bulan Ramadhan karena bilangan bulan kadangkala dua puluh sembilan hari dan kadangkala tiga puluh hari. Berpuasalah jika hilal telah terlihat. Jika terhalang oleh awan, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari karena Allah yang menciptakan langit dan bumi telah menjadikan hilal sebagai tanda waktu agar manusia mengetahui bilangan tahun dan hisab. Dan satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari. Demikian pula lakukanlah hal tersebut pada saat menetapkan hari ‘Iedul Fithri.
- Melihat hilal berkaitan dengan pengelihatan mata telanjang. Tidak perlu berlebih-lebihan dan menyulitkan diri melihat hilal dengan alat-alat teleskop atau dengan perhitungan ahli hisab yang memalingkan kaum Muslimin dari Sunnah Rasulullah saw, sehingga sedikitlah kebaikan pada mereka dan bertambah banyaklah keburukan, wal iyadzu billah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmuu’ al Fataawaa (XXV/207-208), “Tidak diragukan lagi bahwa telah ditetapkan dalam Sunnah Nabi yang shahih dan kesepakatan Sahabat Nabi bahwa tidak boleh berpegang pada hisab seperti yang disebutkan dalam sebuah riwayat shahih dalam kitab ash-Shahihain bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya kami adalah kaum yang ummi (buka huruf), kami tidak menulis dan tidak memakai ilmu hisab. Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya’,”
Orang yang berpegang kepada hisab dalam penetapan hilal adalah orang yang sesat dalam pandangan syari’at, orang yang berbuat bid’ah dalam agama dan ia termasuk orang yang keliru dalam logika dan dalam ilmu hisab itu sendiri. Para ahli atsronomi mengetahui bahwa ru’yat hilal tidak dapat ditetapkan dengan hitungan hisab. Paling maksimal, ilmu hisab hanya dapat mengetahui berapa derajat jarak antara hilal dan matahari saat terbenam misalnya. Namun ru’yat tidak dapat ditetapkan dengan derajat tertentu. Sementara ru’yat hilal bergantung kepada perbedaan tajam atau tidaknya pandangan mata, bergantung kepada tinggi rendahnya tempat melihat hilal dan bergantung pula kepada cerah tidaknya langit. Sebagian orang barangkali dapat melihatnya pada dua belas derajat. Oleh karena itu, ahli hisab berbeda pendapat sangat tajam tentang penetapan busur ru’yat. Para tokoh ilmu hisab seperti Bathliyus tidak memberi penjelasan sepatah kata pun dalam masalah ini, karena tidak ada dalil ilmu hisab yang menetapkannya.
Hanya saja, sebagian muta-akhirin (orang belakangan) dari mereka berbicara tentang masalah ini seperti Wisyayar ad-Dailami dan semisalnya karena mereka melihat syariat mengaitkan sejumlah hukum dengan hilal dan mereka melihat ilmu hisab merupakan salah satu cara untuk menetapkan ru’yat. Namun, bukanlah cara yang benar dan tepat. Bahkan tingkat kesalahannya sangat besar. Hal itu telah terbukti, mereka banyak keliru dalam menetapkan apakah hilal sudah terlihat ataukah belum? Sebabnya adalah mereka menetapkan dengan ilmu hisab apa yang sebenarnya tidak dapat diketahui melalui ilmu itu. Akibatnya mereka menyimpang dari jalan yang benar.”
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/157-158.