Pertama, husnuzan kepada Allah adalah mengumpulkan keyakinan yang kuat tentang apa yang Allah janjikan kepada para hamba-Nya berupa luasnya rahmat Allah dan kemualiaan-Nya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي
“Allah berfirman, ‘Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku.” (Hadits riwayat Bukhari, no. 7405 dan Muslim, no. 2675)
Berkata Qadhi Iyadh, “Maknanya adalah pengampunan jika ia beristighfar kepada-Ku, dan penerimaan jika ia kembali kepada-Ku, dan pengabulan jika ia berdoa kepada-Ku, dan kecukupan jika ia memintanya dari-Ku. Sifat-sifat ini tidak akan nampak dari seorang hamba jika dia tidak berhusnuzan kepada Allah dengan keyakinan yang kuat.” (Akmalul Mu’alim, 8/172)
Kedua, husnuzan bahwa doa akan dikabulkan oleh-Nya. Hal tersebut akan dicapai dengan keyakinan yang kuat bahwa Allah Ta’ala akan mengabulkan permintaan orang yang berdoa. Allah berfirman,
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (Surah Al-Baqarah: 186)
Akan tetapi jika Allah mengakhirkan pengabulan-Nya, maka jangan berputus asa dari rahmat-Nya. Sungguh berputus asa adalah bentuk suuzan kepada Allah, dan hal tersebut haram hukumnya. Allah berfirman,
قَالَ وَمَنْ يَّقْنَطُ مِنْ رَّحْمَةِ رَبِّه اِلَّا الضَّاۤلُّوْنَ
“Dia (Ibrahim) berkata, “Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat.” (Surah Al-Hijr: 56)
Allah juga berfirman,
وَلَا تَا۟يْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِنَّه لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (Surah Yusuf: 87)
Bersuuzan dalam masalah ini akan mengakibatkan doa tidak terkabul. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ، يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
“Doa salah seorang diantara kalian akan terkabul selama tidak tergesa-gesa, maksud tergesa-gesa adalah ia mengatakan, ‘saya telah berdoa tapi tidak dikabulkan.” (Hadits riwayat Bukhari, no. 6340 dan Muslim, no. 2735)
Apabila Allah belum mengabulkan doa kita, maka berprasangka baiklah kepada Allah yaitu dengan berharap bahwa Allah telah memilihkan yang terbaik untuk kita. Diriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ، وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا: إِذًا نُكْثِرُ. قَالَ: اللهُ أَكْثَرُ
“Tidaklah setiap muslim berdoa dengan suatu doa, dalam doa itu tidak ada unsur dosa dan memutus tali silaturahim, kecuali Allah pasti memberikan kepadanya salah satu dari tiga hal; adakalanya disegerakan doanya baginya, adakalanya disimpan untunya di akhirat kelak, dan adakalanya dirinya dihindarkan dari keburukan.” Para sahabat bertanya: “Jika kami memperbanyak doa?” Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Allah lebih banyak (mengabulkan doa).” (Hadits riwayat Ahmad, 17/213)
Dan sebaliknya, tatkala doa tak kunjung dikabulkan, maka dia harus bersuuzan kepada dirinya sendiri. Maka dia harus memastikan di dalam dirinya, bisa jadi ia berdoa dengan sesuatu yang mengandung keburukan, atau di dalam doanya penuh dengan keraguan, atau tidak adanya keikhlasan, atau dia mengonsumsi dan memakai sesuatu yang haram sehingga menghalangi terkabulnya doa.
Ketiga, husnuzan bahwa Allah akan mengampuni dosanya dan memasukkannya ke dalam surga. Maka dalam masalah ini terdapat dua keadaan:
- Husnuzan ini dilakukan saat seseorang masih memiliki harapan untuk melanjutkan hidup, ia tidak dalam keadaan sakaratul maut. Maka husnuzan ini bermanfaat baginya jika disertai rasa takut akan azab Allah Ta’ala, sehingga dia menjauhi dosa dan berbuat baik dengan menaati-Nya, dengan harapan bahwa Allah akan menerima amalannya dan memberinya pahala.
Berkata Imam Ibnu Qayyim, “Tidak diragukan bahwa berlaku husnuzan kepada Allah harus disertai dengan sifat ihsan. Karena sesungguhnya orang yang berbuat ihsan akan selalu berhusnuzan kepada Allah bahwa Dia akan membalasa kebaikannya, tidak mengingkari janjinya, dan menerima taubatnya.”
Maka hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Imam Al-Hasan Al-Bashri,
إن المؤمن أحسن الظن بربه فأحسن العمل، وإن الفاجر أساء الظن بربه، فأساء العمل
“Sesungguhnya seorang mukmin berprasangka baik kepada Rabbnya, maka dia akan beramal dengan amal yang baik. Dan sungguh orang fajir (pelaku maksiat) berprasangka buruk kepada Rabbnya, maka dia beramal dengan amal yang buruk.”
- Seorang hamba berada dalam keadaan sakaratul maut dan terputus dari dunia. Maka dia harus memenangkan sisi husnuzan kepada Allah daripada suuzan. Hal tersebut dikarenakan waktu untuk beramal telah usai, dan yang tersisa hanya harapan saja. Berkata imam An-Nawawy, “Makna husnuzan adalah berprasangka bahwa Allah akan merahmatinya dan mengampuninya. Dikatakan bahwa dalam keadaan sehat, maka seroang hamba harus merasa takut bercampur harap. Nilai dari keduanya sama. Walaupun dikatakan bahwa takut lebih utama. Sedangkan dalam keadaan sakaratul maut, maka didahulukan harap dan husnuzan. Karena takut tidak berfungsi dalam keadaan ini. Maksud dari rasa takut adalah untuk mengindari diri dari perbuatan buruk dan tercela dan untuk memotivasi diri dalam melakukan amal baik. Namun dalam keadaan sakaratul maut, hal ini tidak mungkin terjadi. Maka disunnahkan untuk berhusnuzan kepada Allah dalam keadaan sakaratul maut.
Wallahu A’lam Bish Shawab
Diringkas dan diterjemahkan dari:
https://islamqa.info/ar/answers/272434/ مفهوم-حسن-الظن-بالله-تعالى