Selayaknya bagi seseorang yang memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari keburukan untuk melaksanakan apa yang ia perintahkan dan menjauhi apa yang ia larang. Berkata Al-Qadhi Abu Ya’la, “Orang yang paling utama dalam memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari keburukan adalah orang yang aibnya tertutup, terpelihara dari keburukan, orang yang adil dan diterima oleh banyak orang. Karena jika seseorang memiliki sifat seperti ini, ia akan memberikan rasa kagum dan takut kepada orang yang diperintahkannya, dan dengan sifat ini pula diharapkan seseorang akan menerima dan menjalankan apa yang diperintahkan. Terlebih lagi, kata-kata orang yang memiliki sifat seperti ini akan langsung masuk ke jiwa dan lebih dekat dengan hati.” (Al-Amru Bil-Ma’ruf, hal. 47)
Namun demikian, hal ini tidak bisa menjadi legimitasi bagi orang yang masih berbuat maksiat untuk meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar dengan dalih bahwa mereka tidak memiliki banyak amal dan masih terjatuh kepada lubang kemaksiatan.
Baik para ulama salaf maupun ulama khalaf menyatakan bahwa adil dan tidak terjatuh dalam kemaksiatan maupun dosa bukan merupakan syarat untuk bisa mengamalkan amal ma’ruf nahi munkar. Karena syarat seperti itu akan menutup pintu amar ma’ruf dan nahi munkar, maka siapakah yang selamat dari kemaksiatan dan dosa?
Sungguh kewajiban seseorang hanya ada dua, yaitu menjauhi perkara yang munkar dan melarang dari perkara tersebut. Apabila seseorang tidak sempurna melaksankan salah satunya bukan berarti yang lain juga tidak dikerjakan.
Berkata Imam An-Nawawi, “ Tidak disyaratkan bagi orang yang mangamalkan amar ma’ruf dan nahi munkar untuk memiliki keadaan yang sempurna, yaitu melaksankan semua yang ia perintahkan dan meninggalkan semua yang ia larang. Akan tetapi wajib bagi seseorang untuk memerintahkan kebaikan walaupun ia belum bisa melaksanakan seluruhnya. Dan wajib bagi seseorang untuk melarang dari keburukan dan maksiat walaupun ia masih mengerjakan sebagiannya. (Syarah Shahih Muslim, 2/23)
Dikatakan kepada Hasan Al-Bashri, “Sesungguhnya si Fulan tidak memberikan nasehat, ia berhujjah, ‘Aku takut mengatakan apa yang tidak aku kerjakan.” Maka Hasan Al-Bashri berkata, “Siapakah di antara kita yang sudah mengerjakan apa yang dikatakan? Iblis berharap bahwa dengan perkataan seperti itu tidak akan ada orang yang memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari keburukan.” (Syarhu Mandzumah Al-Adab, 1/215)
Memang beredar nash-nash yang dapat dipahami darinya bahwa syarat mengamalkan amar ma’ruf dan nahi munkar adalah harus melaksankan apa yang ia perintahkan dan meninggalkan apa yang ia larang. Dari nahs-nash tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
- Firman Allah,
اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتٰبَ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
“Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?” (Surah Al-Baqarah: 44)
- Firman-Nya,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Surah As-Saff: 2)
- Hadits Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam
Diriwayatkan dari Usamah, ia berkata; “Aku mendengar Beliau bersabda: Pada hari qiyamat akan dihadirkan seseorang yang kemudian dia dilempar ke dalam neraka, isi perutnya keluar dan terburai hingga dia berputar-putar bagaikan seekor keledai yang berputar-putar menarik mesin gilingnya. Maka penduduk neraka berkumpul mengelilinginya seraya berkata; “Wahai fulan, apa yang terjadi denganmu?. Bukankah kamu dahulu orang yang memerintahkan kami berbuat ma’ruf dan melarang kami berbuat munkar?”. Orang itu berkata; “Aku memang memerintahkan kalian agar berbuat ma’ruf tapi aku sendiri tidak melaksanakannya dan melarang kalian berbuat munkar, namun malah aku mengerjakannya”. (Hadits riwayat Bukhari 3027)
- Hadits Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam
Diriwayatkan dari Anas bin Malik berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِى رِجَالاً تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيْضَ مِنْ نَارٍ فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيْلُ؟ قَالَ: اْلخُطَبَاءُ مِنْ أَمَّتِكَ يَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِاْلبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ وَهُمْ يَتْلُوْنَ اْلكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُوْنَ؟
“Pada malam isra’, aku melihat beberapa orang digunting mulut mereka dengan gunting neraka. Aku bertanya, “Siapakah mereka itu, wahai Jibril?”. Malaikat Jibril menjawab, “Mereka itu adalah para khatib dari umatmu, mereka menyuruh manusia kepada kebaikan namun mereka melupakan diri mereka sendiri, sedangkan mereka membaca kita (alqur’an). Tidakkah mereka berfikir?” (Hadits riwayat Imam Ahmad, no. 13515)
Namun maksud dari nash-nash tersebut bukanlah untuk meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar bagi yang belum bisa melaksanakan kebaikan maupun meninggalkan keburukan, akan tetapi maksud dari nash tersebut adalah sebagai berikut:
- Celaan bagi orang yang memerintahkan kebaikan, namun ia tidak mau mengerjakannya. Dan celaan bagi orang yang melarang keburukan, namun ia suka rela mengerjakannya.
- Celaan bagi seseorang karena meninggalkan apa yang ia perintahkan, dan bukan karena perintah yang ia belum mampu untuk kerjakan. Ini adalah dua hal yang sangat berbeda.
Karena jika syarat untuk memerintahkan kebaikan dan melarang dari keburukan harus juga melaksankannya secara sempurna, maka tidak ada satu orangpun yang layak untuk memberikan nasehat kecuali Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Berkata Malik ibnu Rabi’ah, “Aku mendengar Sa’id ibnu Jubair berkata,
لَوْ كَانَ الْمَرْءُ لَا يَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا يَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ حَتَّى لَا يَكُونَ فِيهِ شَيْءٌ ، مَا أَمَرَ أَحَدٌ بِمَعْرُوفٍ وَلَا نَهَى عَنْ مُنْكَرٍ.
“Kalaulah seseorang tidak diperkenankan mengamalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar sampai ia tidak memiliki celah sedikitpun, maka tidak ada seorangpun yang akan mengamalkannya.”
Maka Malik berkata, “Benar! Siapakah yang tidak memiliki aib dan kekurangan?”
Sa’id berkata, “Akan tetapi, tercela orang yang meninggalkan ketaatan dan melaksanakan kemaksiatan, padahal ia mengetahui ilmunya dan sengaja menyelisihi pandangannya. Sesungguhnya berbeda antara orang yang telah mengetahui dan orang yang tidak mengetahui. Oleh karena itu, terdapat hadits yang mengandung ancaman kepada orang seperti itu (memerintahkan kepada sesuatu namun tidak melaksankannya.)” (Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, 1/248)
Wallahu A’lam Bish-Shawab
Diringkas dan diterjemahkan dari
https://islamqa.info/ar/answers/217453/ هل-يامر-بالمعروف-وينهى-عن-المنكر-من-لا-يلتزم-بما-يقوله