Dari Jabir bin ‘Abdillah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang muhaqalah, muzabanah, mukhabarah, tsunayya dan beliau membolehkan ‘araya[1] ,” (HR Muslim [1536]).
Dalam riwayat lain disebutkan, “Beliau melarang tsunayya (pengecualian dalam jual beli yang tidak jelas bentuk dan ukurannya) kecuali yang jelas pengecualiannya (dimaklumi bentuk dan ukurannya),” (Shahih, HR Abu Dawud [3405], at-Tirmidzi [290], an-Nasa’i [VII/38 dan 296], Ibnu Hibban [4971]).
Kandungan Bab:
- Tidak boleh mengecualikan sesuatu yang majhul (tidak jelas) dari barang yang dijual. Karena dengan demikian barang tersebut menjadi tidak jelas alias majhul akibat pengecualian yang tidak jelas tadi.
- Jika yang dikecualikan itu adalah sesuatu yang jelas dan dimaklumi sehingga tidak berbau kecurangan dan ketidak jelasan, maka hukumnya dibolehkan. Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authaar (V/248), “Jika yang ia kecualikan itu adalah sesuatu yang jelas dan dimaklumi misalnya ia mengecualikan sebatang pohon dari beberapa batang pohon yang dijualnya atau sebuah rumah dari beberapa buah rumah yang dijualnya atau sepetak tanah dari beberapa petak tanah yang dijualnya, maka hal itu dibolehkan berdasarkan kesepakatan ulama.”
- Asy-Syaukani berkata, “Hikmah dilarangnya mengecualikan sesuatu yang majhul adalah karena mengandung unsur kecurangan dan ketidakjelasan.”
————————————
[1] ‘Araya adalah seseorang (A) meminjamkan pohon-pohon miliknya kepada orang lain (B) dengan catatan si peminjam (B) boleh mengambil buahnya untuk satu musim atau beberapa musim. Buah-buahan yang masih segar (belum kering) hasil dari pohon-pohon yang dipinjamkan itu boleh si peminjam (B) jual kepada pihak yang meminjamkannya (A) buat dibayar dengan buah yang sudah kering batasnya adalah lima wasaq. Tujuannya agar yang meminjamkan (A) dapat menikmati buah yang masih segar.Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/240-241