Larangan Praktek Najasy dalam Jual Beli

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang praktek najasy dalam jual beli,” (HR Bukhari [2142] dan Muslim [1516]).

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang orang kota menjual barang dagangan orang desa.”

Dan sabda beliau, “Janganlah kamu melakukan praktek najasy , janganlah seseorang menjual di atas penjualan saudaranya, janganlah ia meminang di atas pinangan saudaranya dan janganlah seorang wanita meminta (suaminya) agar menceraikan madunya supaya apa yang ada dalam bejana (madunya) beralih kepadanya,” (HR Bukhari [2140] dan Muslim [1413]).

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya praktek najasy dalam jual beli, at-Tirmidzi berkata dalam Sunannya (III/597), “Hadits inilah yang berlaku di kalangan ahli ilmu, mereka memakruhkan praktek najasy dalam jual beli.”

    Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (XII/336), “Makruh yang dimaksud adalah makruh tahrim (haram).” 

  2. Bentuk praktek najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan, (Sunan at-Tirmidzi [III/597-598]).

    Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah [VTII/120-121], “Najasy adalah seorang laki-laki melihat ada barang yang hendak dijual. Lalu ia datang menawar barang tersebut dengan tawaran yang tinggi sementara ia sendiri tidak berniat membelinya, namun semata-mata bertujuan mendorong para pembeli untuk membelinya dengan harga yang lebih tinggi.

    At-Tanajusy adalah seseorang melakukan hal tersebut untuk temannya dengan balasan temannya itu melakukan hal yang sama untuknya jika barangnya jadi terjual dengan harga tinggi. Pelakunya dianggap sebagai orang durhaka karena perbuatannya itu, baik ia mengetahui adanya larangan maupun tidak, sebab perbuatan tersebut termasuk penipuan dan penipuan bukanlah akhlak orang Islam.” 

  3. Orang yang melakukan praktek najasy dianggap sebagai orang yang berdosa dan durhaka. Ibnu Baththal telah menukil ijma’ ahli ilmu dalam masalah ini. (lihat Fathul Baari (IV/355). Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah bin Abi Aufa r.a, ia berkata, “Seorang menjajakan barang dagangannya sambil bersumpah dengan nama Allah bahwa ia menjualnya di bawah modal yang telah ia keluarkan. Lalu turunlah ayat, ‘Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit…’ (Ali ‘Imran: 77)”

    ‘Abdullah bin Abi Aufa berkata, “Pelaku praktek najasy adalah pemakan riba dan pengkhianat,” (HR Bukhari [2675]).

    Jika si penjual bekerja sama dengan pelaku najasy dan memberikan kepadanya persen bila barang laku terjual dengan harga tinggi, maka ia juga turut mendapatkan bagian dalam dosa, penipuan, dan pengkhianatan. Keduanya berada dalam Neraka. 

  4. Apabila praktek najasy ini dilakukan atas kerja sama antara oknum pelaku dengan penjual atau atas rekayasa si penjual, maka jual beli tersebut tidak halal, wallaahu a’lam.

    Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VIII/121), “Para ulama sepakat bahwa bila seorang mengakui praktek najasy yang dilakukannya lalu si pembeli jadi membelinya, maka jual beli dianggap sah, tidak ada hak khiyar bagi si pembeli, jika oknum pelaku najasy tadi melakukan aksinya tanpa perintah dari si penjual. Namun, bila ia melakukannya atas perintah dari si penjual, maka sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa si pembeli memiliki hak khiyar.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/233-235