Larangan Menahan Air Susu

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak boleh mencegat pedagang (sebelum masuk pasar) untuk jual beli, janganlah sebagian kalian menjual di atas pejualan orang lain, janganlah melakukan praktek najasy, janganlah orang kota menjualkan untuk orang desa, janganlah menahan air susu (tashriyah) unta dan kambing. Bagi pembeli yang telah membelinya, maka ia berhak memilih dua perkara yang ia kehendaki sesudah ia memerah susunya: jika ia suka ia boleh menahannya, jika tidak suka ia boleh mengembalikannya dengan menyertakan satu sha’ kurma’,” (HR Bukhari [2150] dan Muslim [1515]).

Masih dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Jika salah seorang dari kamu menjual kambing atau unta perah, maka janganlah ia tahan air susunya (tidak memerah susunya)’,” (Shahih, HR An-Nasa’i [VII/215], Ahmad [II/481], ‘Abdurrazzaq [14864], Ibnu Abi Syaibah [VI/215] dan Ibnu Hibban [4969]).

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya tashriyah hewan berkaki empat sebelum dijual, seperti unta, kambing, sapi dan sejenisnya. Bentuknya adalah sebagai berikut: Pemiliknya menahan air susunya selama beberapa hari sehingga air susunya terkumpul dalam kantong susunya (teteknya). Apabila si pembeli memerahnya ia akan menganggap hewan tersebut mampu produksi air susu yang banyak sehingga ia berani membeli dengan harga yang tinggi. Tapi ternyata kelihatan oleh si pembeli air susu hewan tersebut berkurang daripada sebelumnya. Disebut juga muhaffalah karena banyak dan melimpahnya air susu dalam kantong susunya (teteknya). 
  2. Tashriyah yang diharamkan adalah pada hewan yang dipersiapkan untuk diperjualbelikan. Adapun hewan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi (tidak diperjualbelikan), misalnya si pemilik sengaja menahan air susu hewannya itu untuk anak-anaknya atau untuk keluarganya atau untuk para tamunya, maka tidaklah diharamkan. Makna inilah yang ditegaskan oleh al-Bukhari, ia menulis bab: “Penjual Dilarang Menahan Air Susu Unta, Sapi atau Kambingnya, Semua Itu Termasuk Praktek Muhaffalah.” Hal ini menguatkan perkataan ahli ilmu bahwa alasan pelarangan tashriyah adalah adanya unsur penipuan di dalamnya. 
  3. Ditetapkannya hak pilih bagi pembeli setelah memerah air susu hewan yang dibelinya itu. Jika suka, ia boleh tetap menahannya. Jika tidak suka, ia boleh mengembalikannya. 
  4. Jika ia mengembalikannya, maka hendaklah dengan menyertakan satu sha’ kurma berdasarkan hadits dalam bab di atas. Dan juga berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata: “Barangsiapa membeli kambing yang ditahan air susunya (muhaffalah) lalu ia mengembalikannya, maka hendaklah ia sertakan dengan satu sha’ kurma,” (HR Bukhari [2149]). 
  5. Hak pilih ini berlaku selama tiga hari, berdasarkan riwayat Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw, “Barangsiapa membeli kambing yang ditahan air susunya, maka ia (pembeli) memiliki hak pilih selama tiga hari. Jika ternyata ia mengembalikannya hendaklah ia sertakan dengan satu sha’ makanan, bukan gandum,” (HR Muslim [1524]).

    Batas waktu tersebut mulai dihitung setelah memerahnya, karena kepalsuannya baru dapat dilihat setelah diperah, wallaahu a’lam. 

  6. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (IV/364), “Jumhur ahli ilmu memakai hadits ini sebagai dasar pendapat mereka. Dan telah difatwakan juga oleh ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Hurairah ra, tidak ada seorang Sahabat pun yang menyelisihinya. Pendapat ini diikuti pula oleh para Tabi’in dan ulama sesudah mereka yang tidak terhitung jumlahnya. Akan tetapi mayoritas pengikut madzhab Hanafi menyelisihi Jumhur dalam pokok masalah ini dan yang lainnya juga dalam furu’nya. Namun Zufar menyelisihi mereka, ia memilih pendapat Jumhur.” 
  7. Penolakan pengikut madzhab Hanafi terhadap hadits al-mushurraat di atas sama sekali tidak berdasar. Mereka telah merugikan diri sendiri. Penyebutan sikap mereka ini sudah cukup tanpa perlu susah-susah memberikan bantahannya. Bahkan demi Allah juga tidak perlu menukilnya di sini karena mengomentari negatif Sahabat Nabi dan mencela pemahaman mereka merupakan tanda kehinaan pelakunya. Abu Hurairah memiliki keistimewaan hafalan berkat do’a Rasulullah saw. untuknya. Dan para Sahabat Nabi lainnya pun mengakui ketajaman hafalan beliau. Abu Hurairah r.a. adalah perawi Islam.

    Ibnu Hajar al-‘Asqalani telah menyebutkan panjang lebar dalam Fathul Baari (IV/364) kesalahan-kesalahan Hanafiyyah ini berikut bantahan terhadap mereka. Beliau mematahkan semua argumentasi mereka. Apa yang beliau lakukan itu sudah lebih dari cukup. Silahkan membacanya langsung bagi yang ingin mengetahui lebih jauh karena ulasan beliau penuh dengan perbendaharan ilmu dan inti sarinya.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/238-240