Larangan Menjualkan Barang Dagangan Milik Orang Desa

Dari Jabir bin ‘Abdillah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah orang kota menjualkan dagangan milik orang desa. Biarkanlah Allah membagi-bagi rizki kepada sebahagian manusia dari sebahagian manusia lainya’,” (HR Muslim [1522]).

Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah orang kota menjualkan dagangan milik orang desa,” (HR Bukhari [2160] dan Muslim [1520]).

Dari Anas bin Malik r.a, ia berkata, “Orang kota dilarang menjualkan dagangan milik orang desa, meskipun orang desa itu masih saudaranya atau bahkan ayahnya,” (HR Bukhari [2161] dan Muslim [1523]).

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang orang kota menjualkan dagangan milik orang desa,” (HR Bukhari [2159]).

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang talaqqir rukban (mencegat pedagang sebelum masuk pasar) dan melarang orang kota menjualkan dagangan milik orang desa.”

Thawus bertanya, “Apa maksudnya orang kota menjualkan dagangan milik orang desa?” ‘Abdullah bin ‘Abbas menjawab, “Janganlah ia menjadi makelar bagi orang desa.”

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya orang kota menjualkan barang dagangan milik orang desa. Bentuknya adalah sebagai berikut, orang-orang desa biasanya membawa barang-barang dagangan mereka ke kota untuk dijual dengan harga pasar yang berlaku pada hari itu. Setelah pasar tutup mereka kembali ke desa karena biaya hidup di kota terlalu tinggi. Keberadaan pedagang-pedagang desa itu meringankan dan memudahkan penduduk kota. Lalu salah seorang dari penduduk kota mendatangi pedagang di desa dan berkata kepadanya, “Serahkan saja barangmu padaku untuk aku jualkan ke kota dalam beberapa hari dengan harga yang lebih tinggi dan engkau dapat tetap tinggal di desamu.” Sehingga dengan demikian hilanglah kemduhan dan keringanan bagi penduduk kota. Lalu syari’at melarang cara seperti itu, (HR Syarhus Sunnah (VIII/123). 
  2. Larangan tersebut berlaku atas orang yang menjualkannya dengan upah. Sebab pada umumnya orang yang melakukan hal itu tujuannya bukanlah membantu para pedagang, namun hanya untuk mengejar keuntungan semata. Dalilnya adalah perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas ra: “Janganlah ia menjadi makelar bagi orang desa.” Adapun bila orang desa meminta pertimbangan (bantuan) kepada orang kota (tentang perniagaan), maka hendaklah dibantu karena agama adalah nasihat, wallaahu a’lam
  3. Orang kota tidak boleh menjualkan barang dagangan milik orang desa, tidak ada beda apakah orang desa itu masih karib kerabatnya ataupun orang lain. Dalilnya adalah hadits Anas baru lalu, “Meskipun orang desa itu adalah saudaranya atau bahkan ayahnya sendiri.” 
  4. Orang kota tidak boleh membelikan barang dagangan bagi orang desa, menjualkan atau membelikan barang dagangan dalam masalah ini sama hukumnya. Sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, ia berkata, “Dahulu disebutkan bahwa orang kota tidak boleh menjualkan barang dagangan milik orang desa. Pernyataan ini berlaku umum, yakni orang kota tidak boleh menjualkan ataupun membelikan barang dagangan bagi orang desa,” (HR Abu Dawud [3440]).

    Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authaar (V/265-266), “Illat ini dikuatkan lagi dengan peringatan Rasulullah saw. melalu sabda beliau, ‘Biarkanlah Allah membagi-bagi rizki kepada sebahagian manusia dari sebahagian lainnya.’ Larangan ini juga mencakup pembelian barang dagangan untuk orang yang tidak mengetahui harga sebenarnya sebagaimana juga mencakup penjualan barang dagangan miliknya. Anggaplah tidak ada dalil shahih yang menegaskan bahwa hukum pembelian sama seperti hukum penjualan. Akan tetapi telah ditetapkan dalam ilmu Ushul Fiqh bahwa lafazh bay’u (jual) dipakai juga untuk makna syira’ (beli), lafazh tersebut dipakai untuk dua makna tersebut (yakni lafazh bay’u bisa bermakna jual bisa bermakna beli-pent) sebagaimana juga sebaliknya lafazh syira’ (beli) dipakai juga untuk makna bay’u (jual), karena lafazh ini termasuk lafazh musytarik untuk dua makna di atas.

    Perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya menggunakan lafazh musytarik untuk dua maknanya atau beberapa maknanya sekaligus sudah dimaklumi dalam ilmu Ushul Fiqh. Pendapat yang benar adalah boleh selama tidak ada kontradiksi di antara makna-makna tersebut.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/231-233.