Larangan Jual Beli Wala’ dan Menghadiahkannya

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang jual beli wala’ (jasa membebaskan budak dari perbudakan) dan melarang menghadiahkannya,” (HR Bukhari [6756] dan Muslim [1506]).

Masih dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Wala’ adalah ikatan hubungan sama halnya seperti nasab tidak boleh diperjualbelikan dan tidak boleh dihadiahkan,” (Hasan shahih, HR Ibnu Hibban [4950], al-Hakim [IV/341] dan al-Baihaqi [X/292]).

Kadungan Bab:

  1. Tidak boleh memperjualbelikan dan menghadiahkan wala’ karena status hukumnya sama seperti nasab. Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VIII/354), “Ahli ilmu sepakat bahwa wala’ tidak boleh dijual belikan, tidak dihadiahkan dan tidak diwariskan. Justru wala’ merupakan nasab mendapatkan warisan, seperti halnya hubungan nasab merupakan sebab mendapatkan warisan dan tidak bisa diwariskan. Orang-orang Arab pada masa Jahiliyyah memperjualbelikan wala’ budak-budak mereka lalu Rasulullah saw melarangnya.”

    Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (XII/44), “Ibnu Baththal berkata, ‘Para ulama sepakat bahwa hak nasab tidak bisa dialihkan kepada orang lain, sementara hukum wala’ sama seperti hukum nasab. Demikian pula wala’ tidak bisa dialihkan kepada orang lain sebagaimana halnya nasab. Orang-orang Arab Jahiliyyah mengalihkan wala’ seorang budak kepada orang lain (selain tuannya) dengan cara memperjualbelikannya atau dengan cara-cara yang lain lalu syari’at melarang hal tersebut’.”

    Ibnu ‘Abdil Barr berkata dalam kitab at-Tamhiid (XVI/335), “Hadits ini dipakai oleh mayoritas ulama dari kalangan Sahabat dan Tabi’in serta para ulama yang datang setelah merekan.” 

  2. Dinukil dari sebagian Salaf bahwa mereka membolehkan jual beli wala’ dan menghadiahkannya, seperti Maimunah, ‘Utsman, ‘Atha’ dan ‘Urwah. Zhahirnya hadits ini belum sampai kepada mereka. Tentu saja Sunnah Nabi lebih utama untuk diikuti.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/228-229.