Larangan Menjual Air yang Lebih dari Kebutuhan

Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah ditahan air yang lebih dari kebutuhan (Yakni dari orang yang datang memintanya) sehingga akan menyebabkan ditahan pula kelebihan dari rumput-rumputan,” (HR Muslim [1566]).

Dari Jabir bin ‘Abdillah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang menjual air yang lebih dari kebutuhan,” (HR Muslim [1565]).

Dari Iyas bin ‘Abdil Muzani, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang menjual air,” (Shahih, HR Abu Dawud [3478] at-Tirmidzi [1271], an-Nasa’i [VII/307], Ibnu Majah [2476], Ahmad [III/138, IV/417], ad-Darimi [II/269], Ibnu Hibban [4952], al-Hakim [II/61] dan ath-Thabrani [783]).

Dari ‘Aisyah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah menahan air yang lebih dari kebutuhan dan janganlah menahan kelebihan air di sumur’,” (Shahih, HR Ibnu Majah [2479], Ahmad [VI/122, 139, 252 dan 268], Ibnu Hibban [4955], al-Hakim [II/61] dan al-Baihaqi [VI/152]).

Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Tiga macam orang yang Allah tidak ajak mereka berbicara pada hari Kiamat dan Allah tidak akan melihat mereka: (1). Orang yang bersumpah menjual barang sehingga ia diberi harga yang lebih banyak dari biasanya padahal ia berdusta. (2). Orang yang bersumpah dengan sumpah palsu sesudah ‘Ashar untuk merampas harta seorang muslim. (3). Orang yang menahan kelebihan air yang dimilikinya. Kelak Allah berkata kepadanya pada hari Kiamat, ‘Hari ini Aku akan menahan karunia-Ku kepadamu sebagaimana engkau menahan karunia (air) yang tidak engkau buat dengan kedua tanganmu’.”

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya menjual air yang lebih dari kebutuhan.

    At-Tirmidzi berkata (III/571, “Hukum inilah yang berlaku menurut kebanyakan ahli ilmu. Mereka melarang penjualan air. Ini merupakan pendapat ‘Abdullah bin al-Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.”

    Al-Baghawi berkata (VI/168), “Hal ini berlaku atas seseorang yang menggali sumur di tanah tak bertuan. Ia berhak memilikinya dan memiliki apa-apa yang ada disekitarnya atau di dekatnya berupa rerumputan dan tanaman yang tumbuh. Jika si pemilik sumur membebaskan kelebihan airnya, maka orang-orang bisa menggembala di situ. Jika ia melarangnya tentu mereka tidak bisa menggembala di situ. Dengan demikian selain menahan kelebihan air miliknya ia juga menahan rerumputan yang tumbuh di situ. Inilah makna yang dipilih oleh Malik, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad dan asy-Syafi’i. larangan ini menurut mereka bermakna haram.

    Ibnu Hibban berkata (XI/330-331), “Tidak termasuk di sini air yang tidak terdapat dalam pagar dan tidak dimiliki oleh seseorang secara pribadi seperti air yang mengalir yang dimiliki bersama-sama. Kemungkinan juga maknanya di sini adalah air yang dimiliki seseorang di perkampungan, seperti sumur atau mata air yang bisa dimanfaatkan, lalu ia melarang orang-orang mengambil kelebihan air yang dimilikinya. Sehingga ia dilarang menahan kelebihan air tersebut terhadap kaum Muslimin setelah ia mengambil air yang dibutuhkannya karena melarang orang lain mengambil air tersebut berarti melarang mereka mengambil rerumputan yang tumbuh disekitarnya.”

    Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authaar (V/241), “Kedua hadits tersebut menunjukkan haramnya menjual kelebihan air, yaitu air yang lebih dari kebutuhan si empunya. Zhahirnya tidak ada beda antara air yang berada di tanah tak bertuan dengan tanah hak milik. Sama halnya air itu disediakan untuk minum ataupun untuk lainnya, sama halnya air itu untuk keperluan hewan ternak maupun untuk tanaman dan sama halnya air itu di padang luas ataupun di tempat lainnya.”

    Kemudian beliau melanjutkan, “Larangan menjual kelebihan air ini ditegaskan lagi dengan beberapa hadits di antaranya, ‘Manusia berserikat dalam tiga hal: Air, rumput-rumputan dan api’.” 

  2. Ketahuilah, shadaqah yang paling utama adalah memberi air, menshadaqahkannya dan menggali sumur, dan termasuk juga dalam kategori shadaqah jariyah.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/224-226.