Larangan Berpuasa Pada Hari Sabtu

Dari ‘Abdullah bin Busr dari saudara perempuannya bernama ash-Shammaa’ r.a. dari Rasulullah saw. beliau bersabda, “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang wajib atas kalian. Jika seseorang tidak mendapatkan kecuali kulit anggur atau tangkai pohon hendaklah ia mengunyahnya,” (Shahih, HR Abu Dawud [2421], at-Tirmidzi [744], Ibnu Majah [1726], Ahmad [VI/368, 366-368], ad-Darimi [II/19], Ibnu Khuzaimah [2163], al-Baghawi [1806], al-Hakim [I/435], al-Baihaqi [IV/302], Ibnu Hibban [3615]).

Kandungan Bab: 

  1. Hadits ini secara tegas menetapkan larangan berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa fardhu seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar, puasa kaffarah atau puasa qadha’. 
  2. Hadits ini dipertentangkan dengan hadits-hadits lain atau dengan perkataan ahli ilmu. Akan tetapi semuanya tidak dapat dijadikan hujjah. Kami akan menyebutkan dan menjelaskan kelemahan argumentasi dengan hadits-hadits tersebut meskipun kedudukannya shahih.
    1. Didha’ifkan karena adanya idhthirab dan syudzudz seperti yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan al-Hafizh Ibnu Hajar. Guru kami, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani telah menulis pembahasan yang sangat baik dalam kitab beliau Irwaa’ul Ghaliil (960), silahkan lihat di situ. 
    2. Abu Dawud mengatakan hadits ini mansukh. Namun beliau tidak menyebutkan hadits yang memansukhkannya. Jika yang beliau maksud adalah hadits Juwairiyah binti al-Harits dalam bab sebelumnya dari beberapa sisi:

      Pertama: Hukum mansukh tidak bisa dijatuhkan kecuali setelah tidak ada lagi kemungkinan penggabungan (kedua nash tersebut) dan setelah mengetahui mana nash yang lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Sementara tidak mudah untuk mengetahui hal tersebut di sini.

      Kedua: Tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut seperti yang ditegaskan oleh guru kami, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (II/734), “Sebagian peneliti berusaha mempertentangkan antara hadits larangan berpuasa pada hari Jum’at. Aku telah menelitinya dan berdasarkan penelitianku tidak ada pertentangan antara keduanya wal hamdulillah. Oleh sebab itu, kami katakan, Barangsiapa berpuasa pada hari Jum’at namun tidak berpuasa pada hari Kamisnya, maka hendaklah ia berpuasa pada hari Sabtu. Itu adalah wajib agar ia terhindar dari dosa karena berpuasa pada hari Jum’ah secara khusus. Dalam kondisi seperti ini ia masuk dalam kandungan umum sabda Nabi saw. tentang puasa hari Sabtu, “Kecuali puasa yang wajib atas kalian.”

      Akan tetapi hal ini berlaku atas orang yang berpuasa pada hari Jum’at sementara ia belum tahu larangan berpuasa pada hari Jum’at secara khusus dan ia tidak berpuasa pada hari Kamis seperti yang telah kami sebutkan di atas. Adapun bagi yang mengetahui larangan tersebut, maka ia tidak boleh berpuasa pada hari Sabtunya karena dalam kondisi ini puasa pada hari Sabtu bukanlah puasa yang wajib atau fardhu atasnya. Maka tidak termasuk dalam kandungan umum sabda Nabi di atas. Dari situ dapat kita ketahui jawaban bagaimana bila hari Jum’at bertepatan dengan hari-hari yang utama (seperti hari ‘Arafah, Asyura dan sejenisnya), yaitu tetap tidak dibolehkan berpuasa pada hari Jum’at secara tersendiri (terpisah), seperti halnya bila hari tersebut bertepatan dengan hari Sabtu, karena berpuasa pada hari tersebut bukanlah wajib atasnya

      Ketiga: Hukum mansukh adalah jalan terakhir setelah tidak ada lagi kemungkinan penggabungannya. Sementara penggabungan di sini masih memungkinkan. Sebab hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu berisi larangan dan ancaman sementara hadits-hadits lain berisi dispensasi dan pembolehan. Menurut kaidah yang berlaku dalam ilmu Ushul Fiqih, nash yang berisi larangan lebih didahulukan daripada nash yang berisi pembolehan. 

    3. Dipertentangkan dengan hadits Ummu Salamah r.a. bahwasanya Rasulullah saw. banyak berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad. (Ahmad [VI/323 dan 324], Ibnu Khuzaimah [2167], Ibnu Hibban [3616], al-Hakim [I/436], al-Baihaqi [IV/303]). Tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut karena hadits Ummu Salamah r.a. menceritakan perbuatan Rasulullah sementara hadits dalam bab ini berisi perkataan beliau. Dan perkataan lebih didahulukan daripada perbuatan seperti yang telah dijelaskan dalam ilmu Ushul Fiqh. 
  3. Sebagian ahli ilmu membawakan larangan tersebut apabila mengkhususkan atau mengerjakan puasa pada hari Sabtu secara terpisah (tersendiri), mereka berkata, “Sekiranya ia berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya niscaya ia keluar dari larangan.”

    Saya katakan, “Akan tetapi redaksi hadits tersebut tidak mendukung perkataan ini. Sebab, bila yang dimaksud adalah larangan mengerjakannya secara terpisah tentunya puasa wajib tidak perlu masuk dalam pengecualian. Oleh sebab itu, pendapat yang benar adalah, Tidak boleh berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa wajib, wallaahu a’lam.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/185-188.