Dari Abu Syuraih al-Adawi r.a. bahwa ia berkata kepada ‘Amr bin Sa’id saat itu ia mengirim pasukan ke Makkah, “Berilah izin untukku wahai Amir, aku akan menyampaikan sebuah perkataan yang disampaikan oleh Rasulullah saw. sehari setelah penaklukan kota Makkah. Aku mendengarnya langsung dengan kedua telingaku, meresap ke dalam hatiku dan langsung aku saksikan dengan kedua mataku ketika beliau berbicara. Beliau mengucapkan tahmid memuji Allah kemudian berkhutbah, “Sesungguhnya Makkah telah dijadikan tanah haram oleh Allah dan tidak dijadikan tanah haram oleh manusia. Tidak halal bagi siapapun yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk menumpahkan darah di dalamnya dan tidak boleh pula mencabut pohonnya. Jika mereka beralasan dengan perang yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di dalamnya, maka katakan kepadanya bahwa sesungguhnya Allah mengizinkannya bagi Rasulullah saw. dan tidak diizinkan bagi kalian. Sesungguhnya hanya diizinkan bagiku sesaat di siang hari. Dan sekarang statusnya sebagai tanah haram telah kembali seperti semula. Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang-orang yang tidak hadir.”
Ada yang berkata kepada Abu Syuraih, “Apa yang dikatakan ‘Amr kepadamu?” Abu Syuraih berkata, “la mengatakan, Aku lebih tahu daripadamu hai Abu Syuraih! Sesungguhnya tanah haram tidaklah melindungi orang yang durhaka, tidak melindungi orang yang melarikan diri karena telah membunuh dan tidak pula melindungi orang yang melarikan diri karena berkhianat,” (HR Bukhari [1832] dan Muslim [1354]).
Kandungan Bab:
- Haram hukumnya berperang dan menumpahkan darah di Makkah, karena sabda Nabi saw, “Dan menumpahkan darah di dalamnya” adalah kata nakirah dalam konteks penafian yang bermakna umum mencakup pertumpahan darah dan peperangan. Jika peperangan saja diharamkan, maka pertumpahan darah tentu diharamkan juga. Karena peperangan akan mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah.
Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah (VII/302), “Zhahirnya adalah pelarangan segala macam bentuk pertumpahan darah. Benar-benar terjadi maupun tidak.”
- Para ahli ilmu berbeda pendapat tentang orang yang melakukan tinda-kan yang mengakibatkan ia harus dibunuh. Dan pendapat yang paling baik adalah mengeluarkan pelakunya dari tanah haram untuk dibunuh, wallaahu a’lam.
- Para ahli ilmu telah memberikan beberapa bantahan terhadap jawaban ‘Amr bin Sa’id kepada Abu Syuraih ra.
- Abu Syuraih lebih tahu ketimbang ‘Amr bin Sa’id, karena beliau adalah seorang sahabat yang mendengar langsung hadits tersebut dan menyaksikan langsung kejadiannya. Tentu saja perawi lebih paham tentang hadits yang diriwayatkannya daripada orang lain.
- Abu Syuraih tidak menyetujui jawaban ‘Amr bin Sa’id seperti yang dikira oleh Ibnu Baththal. Oleh sebab itu, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (IV/45), “Ibnu Baththal memilih pendapat yang aneh, ia mengira diamnya Abu Syuraih terhadap jawaban ‘Amr bin Sa’id menunjukkan bahwa ia menyetujui perincian yang disampaikan oleh ‘Amr. Namun hai itu terbantah dengan sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad bahwa ia berkata di akhir riwayat. ‘Abu Syuraih berkata kepada ‘Amr, ‘Aku waktu itu menyaksikannya langsung sementara engkau tidak hadir. Dan kami telah diperintahkan agar orang-orang yang hadir menyampaikannya kepadamu.’ Ini mengesankan bahwa beliau tidak menyetujui jawaban ‘Amr akan tetapi Abu Syuraih tidak menggugatnya lebih lanjut karena posisinya yang lemah, sedang ‘Amr memiliki kekuatan.”
- Jawaban ‘Amr bin Sa’id adalah klaim tanpa dalil.
- Jawaban ‘Amr bin Sa’id bukanlah perkataan yang marfu’ (bersumber dari perkataan Rasulullah) namun hanyalah syubhat yang lemah yang terlintas dalam pikirannya.
Termasuk keistimewaan Rasulullah saw. adalah Allah membolehkan beliau berperang sesaat dalam tanah haram Makkah al-Mukarramah. Dan tidak pernah dihalalkan bagi selain beliau baik sebelum maupun sesudahnya.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.