Larangan Berburu Ketika Berihram

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram

Dari ash-Sha’ab bin Jatstsamah al-Laitsi bahwa ia menghadiahkan seekor keledai hutan untuk Rasulullah saw. saat itu beliau berada di al-Abwa’ -atau di Wuddan- lalu Rasulullah mengembalikan hadiah itu kepadanya. Dan ketika Rasulullah melihat wajah ash-Sha’ab agak sedih beliau berkata, “Sesungguhnya kami tidak menolak hadiahmu itu, hanya saja kami sekarang sedang berihram,” (HR Bukhari [1825] dan Muslim [1193]).

Dari Abu Qatadah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. keluar manunaikan ibadah haji dan kami pun ikut keluar besama beliau. Beberapa orang Sahabat beliau berbelok di antaranya adalah Abu Qatadah. Beliau berkata, “Ambillah jalan dari tepi pantai sampai nanti kalian bertemu lagi denganku.”

Maka mereka pun mengambil jalan dari tepi pantai. Ketika mereka bergerak menuju Rasulullah, mereka berihram seluruhnya kecuali Abu Qatadah, ia tidak berihram. Ketika mereka sedang berjalan tiba-tiba mereka melihat serombongan keledai hutan. Abu Qatadah memburunya dan menyembelih seekor keledai hutan betina. Mereka beristirahat dan memakan dagingnya. Mereka berkata, “Kami memakan dagingnya sementara kami sedang berihram.” Lalu mereka membawa daging keledai yang masih tersisa. Ketika mereka bertemu dengan Rasulullah saw. mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami sedang Abu Qatadah tidak. Lalu kami melihat serombongan keledai hutan. Abu Qatadah memburu lalu menyembelih seekor keledai hutan betina. Kami semua berhenti dan menyantap dagingnya. Kami berkata, “Kita telah memakan daging hewan buruan sementara kita sedang berihram.’ Lalu kami membawa sisa dagingnya.” Rasulullah saw. berkata, “Adakah salah seorang dari kalian yang memerintahkan (untuk berburunya) atau mengisyaratkannya?” Mereka menjawab, “Tidak ada!” Maka Rasul berkata, “Makanlah sisa daging tersebut,” (HR Bukhari [1821] dan Muslim [1196]).

Dari Mu’adz bin ‘Abdirrahman bin ‘Utsman at-Taimi bahwa ayahya berkata,”Kami keluar bersama Thalhah bin ‘Ubaidillah saat itu kami berihram. Saat ia sedang tidur dihadiahkan kepada seekor burung. Sebagian dari kami ada yang menyantapnya dan sebagian lainnya menahan diri. Ketika Thalhah bangun ia membenarkan tindakan orang-orang yang memakannya. Ia berkata, ‘Kami juga pernah memakan (hewan buruan) bersama Rasulullah saw’,” (HR Muslim [1197]).

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya hewan buruan bagi seorang muhrim, yaitu haram memburunya dan membantu orang yang memburunya. 
  2. Tidak halal bagi seorang muhrim menerima hewan buruan yang masih hidup seperti yang dijelaskan dalam hadits ash-Sha’ab ra. 
  3. Jika pemburu hewan buruan adalah orang yang tidak berihram, maka boleh bagi orang yang berihram memakan dagingnya selama ia tidak membantu si pemburu dengan ucapan ataupun isyarat. Apabila ia tertawa lalu si pemburu terjaga, maka boleh baginya memakan dagingnya berdasarkan sebuah riwayat dalam hadits Abu Qatadah yang berbunyi, “Tiba-tiba Sahabat-sahabatku (yang berihram) melihat seekor keledai hutan. Maka mereka pun saling tertawa. Aku terjaga dan melihat keledai tersebut.”

    Dengan syarat hal itu bukan merupakan isyarat untuk memburunya.

    Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VII/263), “Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa apabila seorang muhrim tertawa karena melihat hewan buruan lalu orang yang tidak berihram mengetahuinya lalu memburu hewan tersebut dan menyembelihnya, maka si muhrim boleh memakannya.” 

  4. Seorang muhrim tidak boleh membantu si pemburu dalam memburu hewan buruan berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Adakah salah seorang dari kalian yang memerintahkannya atau mengisyaratkannya?” 
  5. Jika seorang yang tidak berihram memburu hewan buruan lalu menghadiahkannya kepada seorang muhrim dalam keadaan telah disembelih, maka ia boleh memakannya seperti yang dijelaskan dalam hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah. 
  6. Seorang muhrim boleh menyembelih hewan ternak dan unggas yang jinak. Imam al-Bukhari meriwayatkan secara mu’allaq (IV/22- lihat Fathul Baari), “Menurut Ibnu Abbas dan Anas tidak mengapa seorang muhrim menyembelih binatang.” Kemudian beliau berkata, “Yaitu selain binatang buruan seperti unta, kambing, sapi, ayam dan kuda.” 
  7. Harapan seorang muhrim agar si pemburu dapat menangkap binatang buruan sehingga ia dapat memakan dagingnya tidaklah merusak ihramnya. 7Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (IV/31), “Seorang muhrim tidak boleh membunuh binatang buruan kecuali bila binatang itu menyerangnya, maka ia boleh membunuhnya untuk mempertahankan diri dan tidak ada dam (denda) atasnya, wallaahu a’lam.

    Saya katakan, “Barangkali beliau mengambil penetapan hukum ini dari hadits yang berisi perintah membunuh binatang-binatang fawasiq yang boleh dibunuh oleh seorang muhrim. Kemudian beliau menggolongkan binatang buas yang menyerang ke dalamnya atau menyamakan binatang buas yang menyerang itu dengan anjing galak/gila. Ini merupakan pemahaman fiqh yang sangat dalam. Adapun hadits Abu Sa’id al-Khudri r.a. dari Rasulullah saw. yang berbunyi, ‘Seorang muhrim boleh membunuh binatang buasa yang menyerang’ adalah hadits dha’if,” (HR . Abu Dawud [1848] dan at-Tirmidzi [838]). 

  8. Seorang muhrim boleh membunuh binatang-binatang fawaasiq seperti yang disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar ra bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Lima binatang yang boleh dibunuh oleh seorang muhrim: Burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing galak/gila,” (HR Bukhari [1828] dan Muslim [1199]).

    Dan dibolehkan juga membunuh ular berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Mas’ud r.a. ia berkata, “Ketika kami bersama Rasulullah saw. dalam sebuah gua di Mina tiba-tiba turunlah surat al-Mursalat kepada beliau. Beliau membacakannya dan sungguh aku menerimanya langsung dari mulut beliau. Sungguh mulut beliau menjadi basah karena membacanya. Tiba-tiba seekor ular datang menyerang kami, Rasulullah saw. berkata, “Bunuhlah ular itu!” Kami pun mengejarnya namun ular itu lari. Rasulullah saw. berkata, “Ia telah terhindari dari kejahatan kalian sebagaimana kalian terhindar dari kejahatannya,” (HR Bukhari [1830] dan Muslim [2224]). 

  9. Jika seorang muhrim membunuh binatang buruan karena khilaf atau lupa, maka tidak ada dam (denda) atasnya. Karena Allah SWT hanya menyebutkan orang yang sengaja melakukannya bukan orang yang khilaf atau lupa. 
  10. Denda atas binatang buruan adalah menggantinya dengan binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan yang telah dibunuhnya menurut putusan dua orang yang adil dari kaum Muslimin. Jika kedua hakim telah sepakat, maka hukumnya harus dijalankan. 
  11. Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah (VII/274), “Adapun binatang buruan di laut, maka semuanya halal bagi seorang muhrim, Allah SWT berfirman, ‘Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu