Dari Nubaih bin Wahab r.a. bahwa ‘Umar bin ‘Abdillah hendak menikahkan Thalhah bin ‘Umar dengan puteri Syaibah bin Jubair. Ia mengundang Aban bin ‘Utsman agar menghadiri aqad pernikahan, pada saat itu ia adalah amir haji. Aban berkata, “Aku mendengar ‘Utsman bin Affan r.a. berkata, ‘Rasulullah bersabda, ‘Seorang muhrim (yang mengenakan ihram) tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan dan tidak boleh meminang’,” (HR Muslim [1049]).
Kandungan Bab:
- Haram hukumnya bagi seorang muhrim untuk menikah, menikahkan atau meminang. Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authaar (V/83), “Yang benar adalah, haram hukumnya bagi seorang muhrim untuk menikah atau menikahkan orang lain, pendapat inilah yang dipegang oleh Jumhur ulama.”
- Nikah seorang muhrim hukumnya fasid (tidak sah). Praktek yang berlaku di kalangan ulama adalah memisahkan pasangan tersebut (yakni membatalkan pernikahan itu). Dari Abu ‘Athfan bin Tharif al-Murri bahwa ayahnya menikahkan seorang wanita sementara ia (ayahnya) dalam keadaan muhrim (berihram), maka ‘Umar bin al-KLhaththab membatalkan pernikahan tersebut,” (Shahih, HR Imam Malik [1/349/71] dan al-Baihaqi [V/66]).
Diriwayatkan pula dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a, “Seorang muhrim tidak boleh menikahkan, jika ia menikahkan, maka nikahnya dibatalkan (tidak sah),” (Shahih, HR Baihaqi [V/66]).
Perkataan seperti itu juga diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Zaid bin Tsabit, Sa’id bin al-Musayyib dan beliau menukil bahwa itulah pendapat yang dipilih oleh ahli Madinah. (lihat Sunan al-Baihaqi [V/66-67]).
- Orang-orang yang membolehkan hal itu bagi seorang muhrim berdalil dengan hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. yang menyebutkan bahwa Nabi saw. menikah dengan Maimunah saat beliau berihram, (Shahih, HR Bukhari [1837] dan Muslim [1410]).
Para ulama memberikan beberapa jawaban terhadap riwayat tersebut, kami akan menyebutkan jawaban yang terkuat di antaranya:
- ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. telah keliru dalam riwayatnya.
- Hal itu termasuk keistimewaan bagi Rasulullah saw.
- Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas ra berbicara tentang kasus pribadi yang mengandung banyak sekali kemungkinan.
Menurutku, jawaban yang paling kuat adalah yang pertama berdasarkan beberapa alasan berikut ini:
Pertama: Telah diriwayatkan secara shahih dari pengakuan Maimunah sendiri bahwa Rasulullah saw. menikahinya dalam keadaan halal (tidak berihram). Di antaranya adalah hadits Yazid bin al-Asham, ia berkata, “Maimunah binti al-Harits telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah saw menikahinya dalam keadaan halal (tidak berihram).” Yazid berkata: “Maimunah adalah bibiku dan juga bibi ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a,” (HR Muslim [1411]).
Kedua: Penjelasan Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab at-Tamhiid (III/153), “Riwayat-riwayat yang kita sebutkan bertentangan dengan riwayat Ibnu ‘Abbas. Namun hati ini lebih condong kepada riwayat jama’ah. Karena satu orang lebih besar kemungkinan jatuh dalam kesalahan. Kedudukan terkuat bagi hadits Ibnu ‘Abbas ini adalah dikatakan sebagai riwayat yang berlawanan dengan riwayat jama’ah. Jika demikian keadaannya, maka kedua-duanya tidak dapat dijadikan hujjah. Sehingga kita harus mencari dalil lain dalam masalah ini. Lalu kita temukan ‘Utsman bin ‘Affan ra telah meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau melarang nikah seorang muhrim.”
Ketiga: Kesepakatan mayoritas ahli ilmu bahwa hadits Ibnu ‘Abbas keliru. Di antaranya adalah Sa’id bin al-Musayyib . Pendapat beliau ini di-sepakati pula oleh Imam Ahlu Sunnah Ahmad bin Hanbal seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (IX/165-166), Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’aad (III/372) dan Ibnu ‘Abdil Hadi dalam Tanqiih at-Tahqiiq (11/104), “Riwayat ini terhitung kesalahan yang terdapat dalam kitab ash-Shahih, Maimunah sendiri mengabarkan bahwa kejadian sebenarnya tidak seperti itu. Dan seseorang tentu lebih tahu keadaan dirinya daripada orang lain.”
Keempat: “Kesepatakan Khulafaur Rasyidin dan Jumhur Sahahat dalam mengamalkan hadits ‘Utsman, menunjukkan bahwa pendapat itulah yang benar.
Ibnu ‘Abdil Barr berkata dalam at-Tamhiid (III/153), “Kita wajib mengambil pendapat berdasarkan hadits yang tidak ada pertentangan ini (hadits ‘Utsman). Sebab mustahil Rasulullah saw. melarang sesuatu kemudian beliau melakukannya. Apalagi Khulafaur Rasyidin beramal dengan hadits tersebut (hadits ‘Utsman), mereka adalah ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali. Dan juga merupakan pendapat ‘Abdullah bin ‘Umar serta mayoritas penduduk Madinah.”
Guru kami, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata dalam kitab Irwaa’ul Ghalil (IV/228), “Kesepakatan para Sahabat mengamalkan hadits ‘Utsman ra menguatkan keshahihannya dan menguatkan keshahihan amal yang berlaku di kalangan Khulafaur Rasyidin. Sekaligus menepis kemungkinan adanya kekeliruan atau mansukh (dihapus hukumnya). Dan sekaligus juga menunjukkan kekeliruan hadits Ibnu ‘Abbas ra. Itulah pendapat yang dipilih oleh ath-Thahawi dalam kitab an-Naasikh wal Mansuukh, berlainan dengan pendapatnya dalam kitab Syarh Ma’ani. Silahkan lihat kitab Nashbur Raayah (III/174).”
Kalaupun kita anggap hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. tadi selamat dari cacat, namun yang wajib diamalkan tetap hadits ‘Utsman bin ‘Affan ra seperti yang telah ditetapkan dalam ilmu Ushul Fiqih. Pendapat inilah yang dipilih oleh an-Nawawi dan asy-Syaukani. Ibnul Qayyim telah memberikan penjelasan lengkap dalam kitab Zaadul Ma’aad (III/374), “Sekiranya dianggap telah terjadi pertentangan antara sabda Nabi dengan perbuatan beliau, tentunya harus didahulukan sabda Nabi. Karena perbuatan Nabi masih digolongkan sebagai bara-ah ashliyah (hukum asal) sementara sabda Nabi memindahkannya dari bara’ah ashliyah (hukum asal sesuatu yaitu mubah) kepada hukum baru. Jadi, mengangkat hukum bara-ah ashliyah (hukum asal). Dan hal ini sejalan dengan kaidah hukum yang berlaku. Kalaulah sekiranya didahulukan perbuatan Nabi (atas sabda beliau), tentu akan mengangkat kandungan hukumnya. Sementara menurut kaidah, sabda Nabi mengangkat hukum bara-ah ashliyah (hukum asal/mubah). Hal itu berarti telah terjadi perubahan hukum dua kali, dan hal itu jelas tidak sejalan dengan kaidah hukum yang berlaku, wallaahu a’lam.” 5Imam Malik berkata dalam kitab al-Muwathta’ (I/349), “Berkaitan dengan seorang muhrim. Seorang muhrim boleh merujuk isteri yang telah ditalaknya (talak satu atau dua) jika ia mau, apabila masih dalam masa iddah.” Kemudian al-Baghawi menukil kesepakatan para ulama dalam masalah ini. Beliau berkata dalam Syarhus Sunnah (VII/253), “Adapun merujuk isteri (yang sudah ditalak), seluruh ulama membolehkan seorang muhrim merujuk isterinya.’
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.