Larangan Mengambil Harta Kesayangan Pembayar Zakat

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, “Ketika Rasulullah saw. mengutus Mu’adz ke negeri Yaman, beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, hendaklah pertama kali dakwah yang kamu sampaikan kepada mereka ialah ibadah kepada Allah semata. Jika mereka telah mengenal Allah, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah mengerjakan shalat, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari harta mereka untuk diberikan kepada kaum fakir. Dan jika mereka mematuhi apa yang kamu sampaikan itu, maka ambillah zakat itu dari mereka dan hindarilah harta yang berharga (harta-harta kesayangan mereka),” (HR Bukhari (1458).

Kandungan Bab: 

  1. Amil zakat tidak boleh mengambil hewan ternak pilihan dan harta kesayangan milik si pembayar zakat. Karena tujuan zakat adalah memberi kelapangan dan kecukupan bagi kaum fakir. Dan tidaklah pantas bila sampai merugikan harta orang-orang kaya. 
  2. Jika si pembayar zakat merelakan harta kesayangannya dan dengan senang hati menyerahkannya, maka si amil boleh mengambilnya. Dan jangan lupa mendo’akan keberkahan bagi si pembayar zakat pada harta dan unta-untanya.

    Dari Ubay bin Ka’ab r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. mengutusku sebagai amil zakat. Lalu aku mendatangi seorang laki-laki. Ketika ia mengumpulkan harta zakatnya untuk ku bawa, aku hanya mendapat bintu makhad (seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun kedua). Kukatakan padanya, ‘Berikanlah bintu makhad ini. Sesungguhnya inilah zakat hartamu.’ Ia berkata, ‘Unta ini tidak memiliki susu dan tidak kuat. Akan tetapi akan kuserahkan unta yang kuat, besar lagi gemuk, ambillah unta itu.’ Aku berkata kepadanya, ‘Aku tidak akan mengambil apa yang tidak diperintahkan untuk mengambilnya. Rasulullah saw. tidak jauh tempatnya darimu. Jikalau bersedia silahkan temui beliau dan tawarkanlah unta yang hendak engkau berikan padaku itu. Jika beliau merestuinya barulah aku berani mengambilnya. Jika tidak merestuinya aku tidak akan mengambilnya.’ Laki-laki itu berkata, ‘Aku akan menemui beliau.’ Ia pergi bersamaku dengan membawa unta yang hendak diserahkannya kepadaku. Sampailah kami dihadapan Rasulullah saw. Ia berkata, ‘Wahai Nabi Allah! Utusanmu datang menemuiku untuk mengambil zakat hartaku. Demi Allah, Rasulullah maupun utusan beliau sebelumnya sama sekali belum pernah mengambil zakat hartaku. Akupun mengumpulkan zakat hartaku untuk ia bawa. Ia mengatakan bahwa aku harus menyerahkan seekor bintu makhad. Sementara bintu makhad itu tidak ada susu dan tidak kuat. Lalu aku tawarkan padanya agar mengambil unta yang kuat dan besar. Namun ia menolaknya. Inilah untanya yang kubawa ini wahai Rasulullah, ambillah unta ini.’ Rasulullah saw. berkata kepadanya, ‘Bintu makhad itulah sebenarnya harta yang wajib engkau serahkan. Namun, jika engkau senang hati berbuat kebaikan, maka Allah akan membalas kebaikanmu dan kami pun menerimanya darimu.’

    Ia berkata, ‘Inilah untanya wahai Rasulullah, aku telah membawanya kemari, ambillah.’ Maka Rasulullah saw. pun memerintahkan untuk mengambilnya dan mendo’akan untuknya keberkahan pada hartanya,” (Hasan, HR Abu Dawud [1583], Ibnu Khuzaimah [2277]).

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.