Dari Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali r.a, ia berkata, “Dahulu kami menganggap berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan setelah penguburannya termasuk niyahah (meratap),” (Shahih, HR Ahmad (II/204) dan Ibnu Majah (1612).
Kandungan Bab :
- Larangan berkumpul di tempat khusus seperti di rumah atau di perkuburan atau di ruangan untuk ta’ziyah. Dan larangan bagi keluarga mayit membuat makanan untuk para tamu yang berta’ziyah.
Imam asy-Syafi’i berkata dalam kitab al-‘Umm (I/279), “Aku memandang makruh ma’tam, yaitu kumpul-kumpul meskipun tidak diiringi dengan isak tangis. Karena hal itu akan membangkitkan kesedihan dan memberatkan beban tanggungan.”
Imam an-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmuu‘ (V/308) mensyarah perkataan asy-Syafi’i sebagai berikut, “Maksudnya adalah duduk-duduk untuk ta’ziyah.”
Beliau melanjutkan (V/306), “Adapun duduk untuk ta’ziyah, Imam asy-Syafi’i, penulis dan seluruh rekan-rekan kami sepakat menyatakannya makruh. Syaikh Abu Hamid dan lainnya dalam kitab at-Ta’liq menukil pernyataan asy-Syafi’i kemudian mereka berkata, ‘Duduk yang dimaksud adalah keluarga mayit berkumpul di rumah lalu orang-orang datang mengunjungi mereka untuk berta’ziyah.’ Mereka juga berkata, ‘Seharusnya keluarga mayit yang tertimpa musibah itu dibantu dan bagi yang kebetulan bertemu dengan mereka hendaklah menyampaikan kata-kata ta’ziyah. Dalam hal ini tidak ada beda antara kaum lelaki dan kaum wanita, makruh bagi mereka berkumpul untuk berta’ziyah’.”
Dalam kitab Syarh al-Hidaayah (I/473) Ibnul Humam menjelaskan tentang keluarga mayit yang melayani para tamu dengan menghidangkan makanan, “Itu adalah bid’ah yang buruk!”
Saya katakan, “Benar kata beliau, karena tradisi semacam itu dapat mematikan sunnah Nabi yang menganjurkan agar kaum kerabat dan tetangga mayit membuat makanan yang mengenyangkan buat keluarga mayit. Berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Ja’far ra, ia berkata, ‘Ketika sampai berita kematian Ja’far yang gugur (di medan perang) Rasulullah berkata, ‘Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, sesungguhnya mereka sedang ditimpa musibah yang merepotkan mereka,’ (Shahih lighairihi, HR Abu Dawud [3132], at-Tirmidzi [998], Ibnu Majah [1610]).
Hadits inilah yang diamalkan oleh orang-orang shalih dari kaum Salaf sebagaimana yang dikatakan oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitab al-‘Umm (I/278), ‘Tetangga mayit atau kaum kerabatnya wajib membuatkan makanan yang mengenyangkan untuk keluarga mayit pada hari si mayit wafat dan pada malamnya. Hal itu merupakan sunnah dan perbuatan yang mulia. Dan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang shalih sebelum dan sesudah kami’.”
Syaikh Ahmad Syakir menukil dalam kitab al-Musnad (XI/126) dari as-Sindi, “Secara keseluruhan, hal ini bertolak belakang dengan tradisi yang dilakukan oleh manusia. Dan berkumpul di rumah keluarga mayit agar mereka tidak terbebani untuk menghidangkan makanan buat para tamu adalah perkara yang bertolak belakang. Mayoritas ahli fiqih menyebutkan, ‘Bertamu ke rumah keluarga mayit adalah bertolak belakang dengan realita, karena bertamu biasanya untuk kebahagiaan bukan untuk kesedihan’.” Kemudian beliau berkata, “Perkataan ini sangat baik sekali.”
- Hal-hal tersebut di atas termasuk niyahah (meratap) yang diharamkan.
Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authaar (IV/148), “Karena hal itu dapat memberatkan dan merepotkan mereka (keluarga mayit) apalagi hati mereka saat itu sedang galau karena kehilangan anggota keluarga. Dan juga hal itu bertentangan dengan Sunnah Nabi. Sebab, sebenarnya merekalah yang diperintahkan untuk membuat makanan bagi keluarga mayit. Mereka justru menyelisihinya dan membebankan keluarga mayit untuk membuat makanan bagi para tamu.”
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.