Larangan Mendirikan Bangunan di atas Kubur dan Menyemennya

Dari Jabir bin ‘Abdillah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang menyemen kubur, duduk di atasnya dan mendirikan bangunan di atasnya,” (HR Muslim [970]).

Kandungan Bab: 

  1. Hadits ini merupakan dalil haramnya mendirikan bangunan di atas kubur, menyemen dan duduk di atasnya.

    Ibnu Hazm berkata dalam kitab al-Muhallaa (V/33), “Dilarang membangun kubur atau menyemennya dan dilarang pula menambah-nambahi sesuatu selain dari tanah bekas galiannya. Semua tambahan itu harus dirubuhkan (diratakan).” 

  2. Berdasarkan Sunnah Nabi, kubur yang tinggi harus dirubuhkan dan diratakan. Berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa ia berkata, “Ketahuilah, aku akan mengutusmu untuk sebuah tugas yang dahulu pernah Rasulullah tugaskan kepadaku, yaitu janganlah biarkan patung kecuali engkau menghancurkan dan janganlah biarkan kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan!” (HR Muslim (969).

    Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authaar (IV/131), “Dalam hadits disebutkan bahwa menurut Sunnah Nabi kubur tidak boleh ditinggikan terlalu tinggi, tanpa ada beda antara kubur orang yang terpandang dengan yang lainnya. Zhahirnya, meninggikan kubur lebih dari kadar yang dibolehkan hukumnya haram. Demikianlah yang telah ditegaskan oleh rekan-rekan imam Ahmad dan beberapa orang rekan Imam asy-Syafi’i dan Malik.

    Pendapat yang mengatakan bahwa meninggikan kubur tidaklah terlarang karena telah dilakukan oleh kaum Salaf dan Khalaf tanpa ada pengingkaran seperti yang diutarakan oleh Imam Yahya dan al-Mahdi dalam kitab al-Ghaits adalah pendapat yang tidak benar! Paling minimal dikatakan bahwa mereka mendiamkannya. Dan diam bukanlah dalil dalam perkara-perkara zhanniyah, dan pengharaman meninggikan kubur termasuk zhanniyah.

    Termasuk meninggikan kubur yang dilarang dalam hadits adalah membuat kubah-kubah dan masyhad (bangunan) di atas kubur. Dan juga hal itu termasuk menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid (tempat peribadatan). Rasulullah saw. telah melaknat orang-orang yang melakukannya. Berapa banyak kerusakan-kerusakan yang timbul akibat membangun kubur dan menghiasnya? kafir terhadap berhala-berhala mereka. Bahkan lebih parah lagi mereka beranggapan kubur-kubur itu mampu membawa manfaat dan menolak mudharat, mereka jadikan tujuan untuk meminta hajat, tempat bersandar dalam meraih kesuksesan, mereka meminta kepadanya seperti seorang hamba meminta kepada Rabb-nya, mereka mengadakan perjalanan untuk mencapainya, mengusap-usap dan memohon perlindungan kepadanya.

    Secara keseluruhan tidak satu pun perkara yang dilakukan oleh kaum Jahiliyyah terhadap berhala-berhala mereka melainkan para penyembah kubur itu juga melakukannya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

    Meskipun kemungkaran dan kekufuran ini sangat keji dan parah namun tidak kami dapati orang yang marah karena Allah dan tergerak untuk melindungi agama yang hanif ini. Baik orang alim, kaum pelajar, amir, wazir atau raja! Bahkan menurut banyak berita yang sampai kepada kami yang sudah tidak diragukan lagi kebenarannya, bahwa kebanyakan diri para penyembah kubur atau bahkan mayoritas mereka apabila dihadapkan kepada sumpah dari pihak yang berseberangan dengan mereka, maka tanpa segan mereka bersumpah demi Allah secara keji. Kemudian apabila dikatakan kepadanya setelah itu: Bersumpahlah atas nama Syaikh atau wali Fulan, maka ia bimbang, menahan diri dan menolak lalu mengakui kebenaran. Ini merupakan dalil nyata yang menunjukkan kemusyrikan mereka melebihi kemusyrikan orang-orang yang mengatakan: Tuhan itu satu dair dua oknum atau tuhan itu satu dari tiga oknum!

    Wahai ulama syari’at, wahai raja-raja kaum Muslimin, musibah apakah yang lebih besar bagi Islam selain kekufuran! Bala apakah yang lebih mudharat bagi agama selain penyembah kepada selain Allah! Adakah maksiat yang menimpa kaum Muslimin yang menyamai maksiat ini?! Kemungkaran manakan lagi yang lebih wajib diingkari selain kemunkaran syirik yang nyata ini!?

    Andaikata yang engkau minta itu hidup

    Niscaya permintaanmu telah sampai kepadanya

    Namun tiada kehidupan bagi orang yang engkau minta

    Sekiranya memang api, niscaya akan hidup bila dihembus

    Namun sayang, ternyata engkau menghembus pasir bukan api 

  3. Apa hukumnya memplester kubur dengan tanah (semacam gundukan)?

    Guru kami, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, menjelaskannya dalam kitab Ahkaamu Janaa-iz, hal. 205-206, “Dalam masalah ini ada dua pendapat ulama:

    Pertama: Hukumnya makruh, demikian ditegaskan oleh Imam Muhammad -sahabat Abu Hanifah-. Makruh dalam pengertian mereka adalah haram apabila disebutkan secara mutlak. Pendapat ini juga dipilih oleh Abu Ja’far dari ulama Hambali seperti yang disebutkan dalam kitab al-Inshaaf (II/549).

    Kedua: Tidak mengapa atau boleh. Pendapat ini dinukil oleh Abu Dawud [158] dari Imam Ahmad dan ditegaskan pula dalam kitab al-Inshaaf. Imam at-Tirmidzi [II/155] menukil pendapat ini dari asy-Syafi’i. an-Nawawi mengomentarinya, “Pendapat beliau (Imam asy-Syafi’i) tidak dikomentari oleh sahabat-sahabat beliau. Maka pendapat yang benar adalah hukumnya tidak makruh seperti yang beliau tegaskan karena tidak ada dalil larangannya.”

    Saya -yakni Syaikh al-Albani- katakan, “Barangkali pendapat yang benar adalah menurut perincian berikut ini: Apabila tujuan membuatnya untuk menjaga kubur dan agar kubur tetap tinggi menurut kadar yang diizinkan syariat atau agar tidak hilang tanda-tanda kubur bila diterpa angin atau agar tidak merusak bila ditimpa hujan, tentu saja hal itu boleh tanpa adanya keraguar. Karena akan terwujud salah satu tujuan syariat, barangkali inilah salah satu bentuk alasan bagi para ulama Hambali yang mengatakan mustahab. Namun apabila tujuannya untuk mempercantik atau sejenisnya yang tidak ada faidahnya maka hukumnya tidak boleh karena hal itu adalah bid’ah.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.