Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Lebih baik salah seorang dari kamu duduk di atas bara api hingga membakar pakaiannya dan sekujur tubuhnya daripada duduk di atas kubur’,” (HR Muslim (971).
Dari Abu Martsad al-Ghanawi r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah duduk di atas kubur dan jangan pula shalat menghadapnya’,” (HR Muslim (972).
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh! berjalan di atas bara api atau pedang atau aku ikat sandalku dengan kakiku lebih aku sukai daripada berjalan di atas kubur seorang muslim. Sama saja buruknya bagiku, buang hajat di tengah kubur atau buang hajat di tengah pasar,” (Shahih, HR Ibnu Majah (1567).
Kandungan Bab:
- Haram hukumnya duduk di atas kubur atau menginjak kubur seorang muslim berdasarkan ancaman berat terhadap pelakunya, khususnya ancaman yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah r.a. Asy-Syaukani menukil dalam Nailul Authaar (IV/136) dari Jumhur, ia mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil dilarangnya duduk di atas kubur. Telah disebutkan larangannya sebelumnya. Jumhur ulama berpendapat hukumnya haram, dan yang dimaksud dari kata juluus dalam hadits ini adalah duduk.”
- Imam Malik rahimahullah berpendapat bahwa duduk yang dimaksud dalam hadits adalah duduk untuk buang hajat. Beliau berkata dalam kitab al-Muwaththa’ (I/233), “Sesungguhnya larangan duduk di atas kubur -menurut kami- bila untuk buang hajat.”
Takwil ini sangat jauh dari kebenaran, para ulama telah membantahnya.
Imam asy-Syafi’i berkata dalam kitab al-‘Umm (I/277-278), “Aku menganggap makruh hukumnya menginjak kubur, duduk atau bersandar di atasnya, kecuali bila seseorang tidak menemukan jalan lain ke kubur yang ditujunya melainkan dengan menginjaknya. Kondisi tersebut adalah darurat, aku harap ia mendapat keluasaan (dispensasi), insya Allah.“
Sebagian rekan kami mengatakan, “Tidak mengapa duduk di atas kubur, sebab yang dilarang adalah duduk untuk buang hajat. Namun menurut pendapat kami tidak seperti itu. Sekiranya yang dilarang adalah duduk untuk buang hajat maka sesungguhnya Rasulullah telah melarangnya. Dan Rasulullah telah melarang duduk di atas kubur secara mutlak selain untuk buang hajat.” Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah r.a.
Ibnu Hazm berkata dalam kitab al-Muhallaa (V/136), “Sebagian orang membolehkan duduk di atas kubur, mereka membawakan larangan tersebut bagi yang duduk untuk buang hajat.
Perkataan ini bathil, dilihat dari beberapa sisi:
Pertama: Takwil ini tidak didukung dalil dan cenderung memalingkan perkataan Rasulullah dari makna sebenarnya. Dan ini sangat keliru sekali.
Kedua: Lafazh hadits sama sekali tidak mendukung takwil tersebut! Rasulullah saw bersabda: ‘Lebih baik salah seorang dari kamu duduk di atas kubur.’
Oleh karena itu, setiap orang yang punya naluri sehat pasti tahu bahwa duduk untuk buang hajat tidak seperti itu bentuknya. Kami tidak pernah mendengar seorang pun duduk dengan pakaiannya untuk buang hajat kecuali orang yang kurang beres akalnya.
Ketiga: Para perawi hadits tidak menyebutkan bentuk duduk yang dimaksud. Dan kami tidak pernah tahu secara bahasa kata jalasa fulan bemakna si fulan buang hajat. Jadi jelaslah kerusakan takwil ini, walillaahil hamd.”
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.