Dari Jabir r.a. bahwasanya Rasulullah saw. melarang menyemen kubur, menulisinya, mendirikan bangunan di atasnya dan dudu di atasnya. (Shahih, HR Abu Dawud [3326], at-Tirmidzi [1052], an-Nasa’i [IV/86], Ibnu Majah [1563], al-Hakim [I/370], al-Baihaqi [IV/4], Ibnu Hibban [3164]).
Kandungan Bab:
- Haram hukumnya menulisi kubur.
Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authaar (IV/129), “Dalam hadits ini disebutkan pengharaman menulisi kubur. Zhahirnya tidak ada beda antara menulis nama si mayit atau tulisan-tulisan lainnya.”
- Sebagian ulama mengecualikan penulisan nama si mayit bukan untuk hiasan, mereka menyamakannya dengan batu yang diletakkan oleh Rasulullah saw. di atas kubur ‘Utsman bin Madz’uun r.a. untuk mengenalinya.
Asy-Syaukani berkata (II/133), “Ini termasuk pengkhususan dengan menggunakan qiyas. Jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa tidak sah qiyas bila bertolak belakang dengan nash sebagaimana disebutkan dalam kitab Dha’un Nahaar. Jadi masalahnya terletak pada keabsahan qiyas tersebut.”
Guru kami, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitab Ahkaamul Janaa’iz, hal. 206 berkata, “Menurut pendapatku -wallaahu a’lam- pendapat yang bersandar kepada qiyas tersebut secara mutlak sangat jauh dari kebenaran. Pendapat yang benar adalah dengan pembatasan, yaitu apabila batu tersebut tidak memenuhi tujuan yang ditetapkan oleh syariat, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw, yaitu untuk mengenalinya, misalnya karena jumlah kubur dan bebatuan terlalu banyak, maka dalam kondisi seperti ini boleh menuliskan nama di batu nisan sekedar untuk tujuan tersebut, yaitu untuk mengenalinya, wallaahu a’lam.”
- Jika ada yang mengatakan, “Sesungguhnya al-Hakim berkata [I370] setelah mencantumkan hadits, “Hadits ini tidak diamalkan, karena seluruh imam-imam kaum muslimin dari timur sampai barat nisan makam mereka ditulisi dengan tulisan-tulisan. Ini merupakan tradisi yang diwarisi dari genarasi ke generasi.”
Al-Hafizh adz-Dzahabi membantah ucapan al-Hakim ini dengan mengatakan, “Tidak usah bertele-tele, kami tidak mengetahui seorang pun sahabat Nabi yang melakukan hal tersebut! Sesungguhnya tradisi seperti itu dibuat-buat oleh sebagian Tabi’in dan orang-orang setelah mereka, sementara hadits larangan belum sampai kepada mereka.”
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.