Larangan Bagi Orang yang Baru Berhubungan Badan dengan Isterinya Turun/Masuk ke Liang Kubur

Dari Anas r.a. bahwa ketika Ruqayyah wafat, Rasulullah saw. berkata, “Janganlah masuk kedalam kubur laki-laki yang berhubungan badan dengan isterinya pada malam tadi.” Maka ‘Utsman bin ‘Affan r.a. tidak masuk ke dalam kubur. (Shahih, HR Ahmad [III/229 dan 270], al-Hakim [IV/47], ath-Thahawi dalam Musykilul Aatsaar [2512], Ibnu Hazm dalam al-Muhalla [V/145]).

Kandungan Bab: 

  1. Barangsiapa berhubungan badan dengan isterinya, maka ia tidak boleh masuk ke dalam liang kubur untuk menguburkan jenazah.

    Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (III/159), “Dalam hadits ini disebutkan, orang-orang yang jauh dari kelezatan (kelezatan jima’) lebih diutamakan untuk mengubur jenazah -meskipun jenazah wanita- daripada ayah ataupun suami si mayit. Ada yang mengatakan, Rasulullah saw. memilihnya (yakni Abu Thalhah-pent) karena pekerjaan tersebut telah menjadi kebiasaannya. Namun perlu dikoreksi lagi, karena zhahir hadits menyebutkan bahwa Rasulullah memilihnya (yakni Abu Thalhah-pent) karena pada malamnya ia tidak berhubungan badan dengan isterinya.”

    Ibnu Hazm berkata dalam kitab al-Muhallaa (V/144), “Orang yang paling berhak menurunkan jenazah wanita ke liang kuburnya adalah yang tidak berhubungan badan dengan isterinya pada malamnya. Meskipun ia bukan mahram bagi wanita tersebut, meski suami atau keluarga wanita itu hadir di situ ataupun tidak hadir.” 

  2. Ath-Thahawi mengemukakan pendapatnya dalam Syarh Musykilul Aatsaar (VI/323), “Bahwa muqarafah yang dimaksud adalah perkataan yang tercela, yakni pertengkaran atau adu mulut. Tidak mungkin maksudnya adalah berhubungan bada, karena hal itu tidaklah tercela.”

    Guru kami, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, berkata dalam kitab Ahkaamul Janaa’iz, hal 149, “Ath-Thahawi menganggap kurang tepat bila mengartikan muqarafah dengan jima’ (berhubungan badan) tanpa didukung dalil sama sekali. Oleh karena itu, pendapatnya tidak perlu digubris.” 

  3. Imam al-Bukhari menukil perkataan Fulaih, “Menurutku (muqarafah) artinya berbuat dosa.”

    Ibnu Hazm berkata dalam kitab al-Muhallaa (V/145), “Al-Muqarafah maknanya ialah berhubungan badan (jima’), bukanlah berbuat dosa. Mustahil Abu Thalhah merekomendasikan dirinya sendiri di hadapan Rasulullah saw. bahwa ia tidak berbuat dosa. Jadi benarlah bahwa siapa yang tidak berhubungan badan dengan isteri pada malamnya lebih berhak daripada ayahnya. Suami atau yang lainnya.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.