Larangan Bagi Pengantar Jenazah Duduk Hingga Jenazah Diletakkan

Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Jika kalian melihat jenazah, maka berdirilah, dan bagi yang mengiringinya janganlah duduk hingga jenazah diletakkan,” (HR Bukhari [1310] dan Muslim [959]).

Kandungan Bab: 

  1. Perintah berdiri bagi yang melihat jenazah lewat dan larangan duduk bagi yang mengantarnya hingga jenazah diletakkan. 
  2. Para ulama berbeda pendapat apakah hukumnya muhkan atau mansukh?

    Berdasarkan dalil yang ada, larangan duduk bagi pengantar dan perintah berdiri bagi yang melihatnya telah dihapus hukumnya (mansukh), penghapusan hukum meliputi: 

    1. Penghapusan perintah berdiri bagi yang sedang duduk apabila melihat jenazah lewat.
    2. Penghapusan perintah berdiri dan larangan duduk bagi yang mengantar jenazah sampai ke pekuburan hingga jenazah diletakkan.

    Dalil yang memansukhkannya adalah hadits ‘Ali bin Abi Thalib r.a. yang memiliki beberapa lafazh di antaranya:

    Pertama: “Kami melihat Rasulullah saw. berdiri, maka kami pun berdiri kemudian beliau duduk, maka kami pun duduk (yakni saat mengantar/melihat jenazah),” (HR Muslim [926])

    Kedua: “Dahulu beliau berdiri apabila mengantar/melihat jenazah kemudian beliau duduk,” (HR Malik dalam al-Muwaththa’ [I/232], Imam asy-Syafi’i dari jalur Malik dalam kitab al-‘Umm [I/279], Abu Dawud [3175], ath-Thahawi dalam Syarh Ma’aani al-Aatsaar [I/488]).

    Ketiga: “Aku menyaksikan jenazah di Iraq. Aku lihat orang-orang berdiri menunggu jenazah diletakkan. Lalu aku lihat ‘Ali bin Abi Thalib r.a. mengisyaratkan agar mereka duduk karena Rasulullah saw. memerintahkan kami duduk, awalnya beliau menyuruh kami berdiri (hingga jenazah diletakkan-pent.),” (Hasan, HR ath-Thahawi dalam kitab Syarh Ma’aani al-Aatsaar [I/488]).

    Keempat: “Aku menyaksikan jenazah di kampung Bani Salamah. Melihat aku berdiri, Nafi’ bin Jubair berkata kepadaku, “Duduklah aku akan mengabarimu tentang masalah ini dari sumber terpercaya. Mas’ud bin al-Hakam az-Zarqi telah mengabariku bahwa ia mendengar ‘Ali bin Abi Thalib r.a. di tanah lapang Kufah berkata, “Dahulu Rasulullah saw. menyuruh kami berdiri saat mengantar jenazah kemudian beliau duduk dan menyuruh kami duduk,” (HR Ahmad [I/82], ath-Thahawi [I/488], Abu Ya’la [273], Ibnu Hibban [3056]).

    Kelima: “Rasulullah saw. berdiri mengiringi jenazah hingga jenazah diletakkan, orang-orang pun berdiri bersama beliau. Lantas beliau duduk setelah itu dan memerintahkan orang-orang supaya duduk,” (HR Baihaqi [IV/27]).

    Jadi jelaslah, perintah berdiri bagi yang melihat jenazah lewat dan larangan duduk bagi yang mengantarnya hingga jenazah diletakkan hukumnya telah dihapus (mansukh). Dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib r.a. terdapat dua bentuk penjelasan, dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah. Akan tetapi kelihatannya asy-Syaukani belum mengetahui perkataan Rasulullah saw, ia bekata dalam kitab Nailul Authaar (IV/120), “Anggaplah berdiri yang dimaksud dalam hadits ‘Ali ini adalah berdirinya para pengantar jenazah, maka duduknya Rasulullah saw. tidak bisa menghapus larangan. Apalagi tidak ada indikasi yang mengesankan perintah untuk mengikuti perbuatan beliau tersebut secara khusus. Dan berdasarkan kaidah Ushul yang telah disepakati bahwa perbuatan Rasullah tidak bertentangan dan tidak dapat menghapus sabda beliau yang khusus untuk ummat.”

    Demikian pula Shiddiq Hasan Khan yang mengatakan dalam kitabnya, ar-Raudhatun Nadiyyah (I/176), “Adapun perintah berdiri bagi yang mengiringi jenazah hingga jenazah diletakkan adalah hukum yang muhkam dan tidak mansukh.”

    Adapun Ibnu Hazm, ia berkata dalam kitab al-Muhalla (V/154), “Duduknya Rasulullah setelah perintah untuk berdiri merupakan penjelasan bahwa perintah tersebut hukumnya mustahab (tidak wajib), bukan sebagai penghapus hukumnya. Karena tidak dibenarkan meninggalkan sunnah yang sudah diyakini keabsahannya kecuali dengan adalnya dalih nasikh (penghapus) yang diyakini keshahihannya. Penghapusan hukum (dalam hal ini suatu perkara yang diperintahkan) hanya dibenarkan bila ada larangan (yang datang setelahnya) atau bila ada riwayat yang menyebutkan Rasulullah meninggalkannya yang diikuti dengan larangan.”

    Saya katakan: “Kedua perkara di atas telah kami sebutkan, yaitu larangan dan riwayat yang menyebutkan Rasulullah meninggalkannya yang diikuti dengan larangan. Oleh karena itulah kami mencantumkan satu persatu lafazh-lafazh hadits ‘Ali bin Abi Thalib r.a.”

    Jika ada yang berkata, “Ibnu Hazm telah membantahnya dengan hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah r.a, keduanya berkata, ‘Kami tidak pernah melihat Rasulullah duduk saat mengiringi jenazah hingga jenazah diletakkan.'”

    Kemudian ia berkata, “Ini adalah perbuatan Rasulullah yang terus beliau amalkan. Abu Hurairah dan Abu Sa’id r.a. tidak berpisah dari Rasulullah hingga beliau saw. wafat. Jadi jelaslah bahwa perintah untuk duduk merupakan penjelasan bahwa hukumnya mubah dan merupakan dispensasi sementara perintah beliau untuk berdiri dan perbuatan beliau sendiri merupakan penjelasan bahwa hukumnya mustahab.”

    Saya katakan, “Hadits ‘Ali bin Abi Thalib r.a. di atas memansukhkan (menghapus) hadits Abu Sa’id al-Khudri r.a.”

    Dari Waqid bin ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’adz, ia berkata. “Nafi bin Jubair melihatku berdiri ketika kami sedang mengantar jenazah sementara ia duduk menunggu jenazah diletakkan. Ia berkata kepadaku: ‘Mengapa kamu berdiri?’ ‘Aku menunggu jenazah diletakkan berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri r.a,’ jawabku.”

    Nafi’ berkata, “Sesungguhnya Mas’ud bin al-Hakam telah menyampaikan kepadaku dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa ia berkata, ‘Rasulullah saw. pada awalnya berdiri kemudian duduk’,” (HR Muslim [962]).

    Jelas sekali, perawi hadits ‘Ali bin Abi Thalib membawakannya sebagai dalil bahwa hadits Abu Sa’id telah mansukh (dihapus hukumnya). Jadi, sangat keliru bila mempertentangkan penukilan Ibnu Hazm dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah r.a. dengan hadits ‘Ali bin Abi Thalib r.a. Karena kemungkian perintah untuk duduk belum sampai kepada Abu Hurairah dan Abu Sa’id. Lain halnya ‘Ali bin Abi Thalib, telah sampai kepada beliau dua perintah tersebut, pertama perintah untuk berdiri kemudian perintah untuk duduk. Dengan demikian hadits ‘Ali lebih kuat karena adanya perincian yang disertai keterangan tambahan di dalamnya. Memakainya sebagai dasar hukum dalam masalah ini adalah lebih utama, wallaahu a’lam.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.