Haram Hukumnya Kencing di Air Yang Tergenang Dan Mandi, Berwudhu

Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah r.a., dari Rasulullah saw., “Bahwa beliau melarang kencing di air yang tergenang (tidak mengalir),” (HR Muslim [281]).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, dari Muhammad Rasulullah saw., kemudian beliau menyebutkan beberapa hadits, di antaranya: Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kencing di air yang tergenang yang tidak mengalir kemudian mandi darinya,” (HR Bukhari [239] dan Muslim [282]).

Kandungan Bab:

  1. Hukum kencing di air yang tergenang berbeda dengan hukum kencing di air yang mengalir. Karena jika najis jatuh ke dalam air yang mengalir, maka bagian yang terkena najis akan terbawa mengalir sehingga dianggap telah hilang. 
  2. Kencing di air yang tergenang dapat membuat air tersebut najis jika kadarnya belum mencapai dua puluh qullah dan selama belum berubah (warna, rasa dan baunya-pent). 
  3. Air yang mengalir tidak najis kecuali bila berubah salah satu dari tiga sifatnya (yakni warna, rasa dan baunya karena najis-pent). 
  4. Larangan manji janabah di air yang tergenang hukumnya tersendiri, berbeda dengan hukum mandi di air yang tergenang. Telah diriwayatkan beberapa hadits yang melarang keduanya, baik kencing ataupun mandi di air tergenang.

    Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah seseorang dari kamu kencing di air yang tergenang dan janganlah ia mandi janabah di situ.” (Hasan, HR Abu Dawud [70], al-Baghawi [285], Ibnu Abi Syaibah [I/141], Ibnu Majah [344], dan Ahmad [II/433]). 

  5. Larangan mandi, berwudhu, atau minum dari air tergenang yang ia kencing di situ. Berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a., “Janganlah salah seorang di antara kamu kencing di air tergenang kemudian ia berwudhu di situ atau minum darinya,” (Shahih, HR Ibnu Hibban [1256] dan Ibnu Khuzaimah [94]).

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/296-297.