Makruh Hukumnya, Dzikrullah Dalam Keadaan Tidak Bersuci

Diriwayatkan dari al-Muhajir bin Qanfadz r.a., bahwa ia datang menemui Rasululah saw. sementara beliau ketika itu sedang buang air kecil. Ia mengucapkan salam namun Rasulullah saw. tidak membalas salamnya, hingga beliau menyelesaikan hajatnya, lalu menyampaikan alasan beliau tidak membalasnya, beliau bersabda, “Aku tidak suka menyebut nama Allah swt. kecuali dalam keadaan suci,” (Shahih, HR Abu Dawud [17], an-Nasa’i [I/37], Ibnu Majah [350], Ahmad [IV/345] dan [V/80], ad-Darimi [II/278], al-Hakim [I/167], al-Baihaqi [I/90], Ibnu Hibban [803] dan [806], dan Ibnu Khuzaimah [206]).

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a., “Ada seorang laki-laki lewat di dekat Rasulullah, sementara beliau sedang buang air kecil. Laki-laki itu mengucapkan salam akan tetapi Rasulullah saw. tidak membalas salamnya.” (HR Muslim [370]).

Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah r.a., ada seorang laki-laki lewat di dekat Rasulullah saw. sementara beliau sedang buang air kecil, lalu laki-laki itu mengucapkan salam. Maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Jika engkau melihat aku dalam keadaan seperti ini (buang hajat), maka janganlah engkau ucapkan salam kepadaku. Karena, jika engkau lakukan hal itu, aku tidak akan membalas salammu,” (Shahih dengan beberapa riwayat pendukungnya. HR Ibnu Majah [352] dan Ibnu Abi Hatim dalam kitab al-‘Ilal [I/34]).

Kandungan Bab:

  1. Larangan yang disebutkan dalam hadits-hadits bab di atas hukumnya dibawakan kepada makruh tanzih. Sebab, telah dinukil secara shahih dari Rasulullah saw., “Bahwa beliau selalu berdzikir dalam setiap keadaan,” (HR Muslim [373]).

    Ibnu Hibban berkata, “Sabda Nabi saw., ‘Aku tidak suka berdzikir kepada Allah dalam keadaan tidak bersuci,’ maksudnya adalah menjelaskan fadhilah bersuci. Berdzikir dalam keadaan bersuci tentunya lebih afdhal. Bukan artinya larangan berdzikir dalam keadaan tidak bersuci.”

    Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah (II/44), “Yang lebih afdhal adalah bersuci sebelum dzikrullah, jika ia tidak mendapati air, maka hendaklah bertayammum.”

    Saya katakan, “Dalil tayammum adalah riwayat dari ‘Umair Maula Ibnu ‘Abbas r.a. berkata, “Aku dan ‘Abdullah bin Yasar Maula Maimunah, isteri Rasulullah saw., berangkat menemui Abu Juhaim bin al-Harits bin Shimah al-Anshari. Abu Juhaim berkata, ‘Suatu ketika Rasulullah berangkat menuju mata air Hamal, beliau berpapasan dengan seorang lelaki. Lelaki itu mengucapkan salam kepada beliau namun beliau tidak menjawab salamnya hingga beliau mendatangi sebuah dinding, lalu beliau mengusap wajah dan kedua telapak tangannya. Kemudian barulah Rasulullah saw. menjawab salamnya’,” (HR Bukhari [337] dan Muslim [369]). 

  2. Boleh berbicara ketika berada dalam kamar kecil sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Jabir di atas. Adapun hadits yang berbunyi, “Janganlah dua orang yang sedang buang hajat saling berbicara dan saling melihat aurat mereka. Karena Allah SWT membenci perbuatan semacam itu.”

    Hadits ini secara jelas mengharamkan mengenai dua orang yang buang hajat saling berbicara dengan saling melihat aurat mereka. Harap dipahami dengan benar. 

  3. Sebagian ulama ahli hadits membolehkan membaca Al-Qur’an bagi orang yang berhadas. Sementara hadits-hadits di atas, menunjukkan kemakruhannya. Wallaahu a’lam.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/287-289.