Haram Hukumnya Beristinja

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Rasulullah saw. mendatangi tempat buang air lalu memerintahkan aku untuk mencari tiga buah batu. Aku menemukan dua buah batu dan berusaha mencari satu lagi namun tidak kutemukan. Lalu aku mengambil kotoran hewan dan membawanya kepada Rasulullah saw. Beliau mengambil dua buah batu dan membuang kotoran hewan. Beliau bersabda, ‘Benda ini adalah kotoran (najis)’,”[1] (HR Bukhari (156).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. berkata, “Aku mengikuti Rasulullah saw. ketika beliau sedang keluar buang hajat. Beliau biasanya berjalan tanpa menoleh. Aku pun mendekati beliau. Beliau berkata, ‘Bawakanlah untukku beberapa buah batu untuk aku beristinja’ dengannya –atau kalimat semisalnya-, namun jangan bawakan kepadaku tulang dan kotoran hewan.’ Aku pun membawa beberapa buah batu yang kuletakkan di ujung bajuku, kemudian kuletakkan di sisi beliau lalu aku berpaling. Setelah beliau selesai buang hajat, aku bawakan batu-batu tersebut kepadanya’.” (HR. Al-Bukhari (155).

Dalam riwayat lain ditambahkan, “Setelah Rasulullah saw. selesai buang hajat aku berjalan bersama beliau dan aku bertanya, ‘Mengapa tidak boleh menggunakan tulang dan kotoran hewan?’ Beliau menjawab, ‘Karena keduanya adalah makanan bangsa jin. Sesungguhnya, telah datang kepadaku utusan jin nashibiin –mereka adalah sebaik-baik jin-, mereka meminta perbekalan kepadaku. Maka aku pun berdo’a kepada Allah untuk mereka agar tidaklah mereka menemukan kotoran hewan ataupun tulang, melainkan mereka menemukan makanan padanya’!” (HR Bukhari (3860).

Diriwayatkan dari ‘Amir, ia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Al-Qamah, apakah Ibnu Mas’ud turut menyaksikan bersama Rasulullah saw. pada malam beliau bertemu utusan jin?” ‘Al-Qamah berkata, “Aku telah bertanya kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, Adakah salah seorang dari kalian yang menyertai Rasulullah saw. pada malam beliau bertemu dengan utusan jin?” Ia menjawab, “Tidak ada! Namun pada malam itu kami bersama Rasulullah saw., lalu kami kehilangan beliau. Kami telah mencari beliau di lembah dan jalan perbukitan, namun tidak menemukan beliau, hingga kami katakan, ‘Barangkali beliau dibawa jin atau beliau dibunuh secara misterius.’ Kami pun melewati malam paling kelabu dalam hidup kami. Pagi harinya tiba-tiba beliau muncul dari arah Hiraa’. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami kehilanganmu dan kami telah berusaha mencarimu namun tidak ketemu, kami pun melewati malam paling kelabu dalam hidup kami.” Lalu beliau mengatakan, “Seorang utusan jin datang menemuiku, lalu aku pergi bersamanya. Aku membacakan Al-Qur’an kepada mereka.” Kemudian Rasulullah saw. membawa kami ke tempat itu dan memperlihatkan kepada kami jejak-jejak mereka dan bekas api unggun mereka. Mereka telah meminta bekal kepada Rasulullah saw. Beliau berkata, “Bagi kalian setiap tulang yang kalian temukan yang diucapkan nama Allah padanya. Makanan itu lebih baik bagi kamu dari pada daging, dan setiap kotoran hewan adalah makanan bagi hewan tunggangan kalian.” Kemudian Rasulullah saw. berkata, “Maka dari itu, janganlah kalian beristinja’ dengan kedua benda tersebut karena keduanya adalah makanan saudara kalian dari kalangan jin,” (HR Muslim [450]).

Diriwayatkan dari Abu Zubair, ia mendengar Jabir r.a. berkata, “Rasulullah saw. melarang kami beristinja’ dengan tulang atau kotoran hewan,” (HR Muslim [263]).

Diriwayatkan dari Salman r.a. berkata, ia pernah ditanya, “Apakah Nabi kalian saw. telah mengajari segala sesuatu hingga mengajari kalian etika buang hajat?” Salman menjawab: “Benar! Beliau melarang kami buang hajat besar atau kecil dengan menghadap kiblat, melarang kami beristinja’ dengan tangan kanan, melarang kami beristinja’ dengan menggunakan kurang dari tiga buah batu, dan melarang kami beristinja’ dengan menggunakan kotoran hewan atau tulang,” (HR Muslim [262]).

Diriwayatkan dari Syuyaim bin Baitan, ia mendengar Ruwaifi’ bin Tsabit r.a. berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, ‘Hai Ruwaifi’, mudah-mudahan umurmu panjang, oleh karena itu sampaikanlah kepada manusia bahwa siapa saja yang memintal janggutnya atau memakai kalung dari tali busur panah atau beristinja’ dengan kotoran binatang atau dengan tulang, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri darinya’,”

Diriwayatkan dari Khuzaimah bin Tsabit r.a. berkata, “Rasulullah saw. pernah ditanya tentang tata cara beristithaab,[2] beliau menjawab, ‘Gunakanlah tiga buah batu dan jangan gunakan kotoran hewan’,” (Shahih, HR Abu Dawud [41], Ibnu Majah [315], al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [179]).

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Utusan dari bangsa jin datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, ‘Wahai Muhammad, laranglah ummatmu beristinja’ dengan menggunakan tulang atau kotoran hewan atau arang. Karena Allah SWT telah menjadikan benda-benda tersebut sebagai rizki (makanan) bagi kami.’ Maka Rasulullah saw. melarang ummat beliau dari hal tersebut,” (Shahih, HR Abu Dawud [39], al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [180]).

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya beristinja’ dengan menggunakan rauts (kotoran hewan yang telah kering), raji’ (kotoran hewan yang masih basah), tulang, arang atau rimmah (tulang yang sudah mengering). 
  2. Penjelasan tentang benda-benda najis. Bahwa benda-benda najis atau terkena najis tidak boleh dipakai beristinja’. Karena najis tidak bisa menghilangkan najis. 
  3. Larangan beristinja’ dengan rauts, raji’, tulang atau rimmah menunjukkan, bahwa beristinja’ tidak dikhususkan dengan batu saja. Kalaulah bukan karena Rasulullah saw. menginginkan batu dan benda-benda sejenisnya, yaitu benda padat yang suci dan mudah diambil seperti kain atau tissue, daun atau tanah liat dan sejenisnya, tentunya pengecualian tulang dan kotoran hewan tidak ada artinya. Dan tidak tepat pula alasan larangan menggunakan kedua benda tersebut, yakni karena keduanya merupakan makanan jin. Dengan larangan menggunakan kedua benda tersebut beliau saw. mengisyaratkan bahwa selain keduanya boleh digunakan. Jadi, bukan terbatas hanya dengan menggunakan batu saja. Hanya saja batu disebutkan secara khusus di sini karena batu itu banyak dan mudah ditemui. 
  4. Para ahli ilmu memasukkan juga seluruh makanan bani Adam dengan qiyas (menyamakan dengan makanan jin). Demikian pula benda-benda yang terhormat, misalnya kertas-kertas berisi tulisan agama atau ilmu. Juga benda-benda yang lengket sehingga najis mudah lengket padanya, dan benda-benda yang lembek dan mudah tercerai dan mudah melekat pada tempatnya, yang hal itu diqiyaskan (disamakan) dengan arang atau abu. Qiyas tersebut termasuk qiyas jaliy yang sangat kuat. 
  5. Sebagian ahli ilmu berpendapat, apabila seseorang beristinja’ dengan kotoran hewan atau tulang maka istinja’nya dianggap sah, meskipun kedua benda tersebut dilarang digunakan. Namun pendapat mereka tertolak dengan riwayat yang dikeluarkan oleh ad-Daruquthni [I/56] dari hadits Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. melarang beristinja’ dengan kotoran hewan dan tulang. Beliau mengatakan, “Kedua benda itu tidak dapat menyucikan.”

    Ad-Daruquthni berkata, “Sanadnya shahih. Dan disetujui oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fathul Baari [I/256].”

———————————

[1] Maknanya adalah rijs (najis). Ada yang mengatakan, “Ar-rajii’ adalah benda yang berpindah dari keadaan suci menjadi najis.” Ada yang mengatakan, “Ar-riks adalah makanan jin.” Pendapat pertama kelihatannya yang lebih tepat, wallaahu a’lam.

[2] Yakni istinja’, makna thiib atau istithaab di sini adalah bersuci, karena orang yang beristinja’ membersihkan dirinya dari kotoran dan hadas. 

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/290-294.