Larangan Mengusap Telapak Kaki

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amru r.a. berkata, “Dalam sebuah perjalanan Rasulullah saw. tertinggal di belakang kami. Beliau berhasil menyusul kami bertepatan dengan masuknya waktu shalat ‘Ashar. Maka kami pun berwudhu’ dan ketika membasuhi kaki, kami hanya mengusapnya saja. Maka beliau berseru dengan suara tinggi, ‘Celakalah tumit-tumit kaki yang tersentuh api Neraka!’Beliau mengatkannya dua atau tiga kali,” (HR Bukhari [163] dan Muslim [241] dan [27]).

Kandungan Bab: 

  1. Haram hukumnya hanya mengusap kaki dalam berwudhu’.

    Imam Bukhari rhm. menjadikan perkataan ‘Abdullah bin ‘Amru r.a., “Kami pun berwudhu’ dan ketika membasuh kaki, kami hanya mengusapnya saja,” sebagai dalil bahwa perkara yang diingkari atas mereka adalah disebabkan mereka hanya mengusap kaki bukan disebabkan mereka hanya membasuh bagian kaki tertentu saja. Oleh sebab itu beliau menulis judul bab sebagai berikut: “Bab membasuh kedua kaki, tidak cukup dengan mengusapnya saja.”

    Jika ada yang berkata, “Dalam riwayat Muslim disebutkan sebuah riwayat yang berbunyi, ‘Sebagian orang tergesa-gesa berwudhu’ pada waktu ‘Ashar. Mereka berwudhu’ dengan tergesa-gesa. Kami pun menemui mereka sementara tumit mereka masih mengkilap (masih kering-ed.) karena belum terkena air. Maka Rasulullah saw bersabda, ‘Celakalah tumit-tumit yang tersentuh api Neraka, sempurnakanlah wudhu’ kalian’!”

    Ini merupakan dalil bahwa pengingkaran tersebut karena mereka tidak menyempurnakan wudhu’. Saya katakan, jawaban dari beberapa sisi:

    • Riwayat pertama di atas adalah riwayat muttafaq ‘alaih. Tentunya riwayat muttafaq ‘alaih lebih didahulukan daripada riwayat Muslim saja. 
    • Orang-orang yang berpendapat cukup dengan mengusap kaki, tentunya mereka membasuh tumit. Jadi, hadits tersebut merupakan hujjah atas mereka. Bukan menjadi dalil bagi mereka! 
    • Riwayat Muslim tersebut merupakan hujjah bagi yang mewajibkan membasuh kaki. Sebab, ketika Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk menyempurnakan wudhu’ dan memperingatkan mereka agar tidak melalaikan membasuh tumit, semua itu menunjukkan wajibnya membasuh kedua kaki dan meratakan air ke seluruh bagian kaki sehingga tidak menyisakan bagian yang tidak terkena air, wallahu a’lam. 
    • Sekiranya cukup dengan mengusap kaki, tentunya mereka tidak akan diancam dengan Neraka. 
  2. Tidak pernah dinukil dari Rasulullah saw. –walaupun sekali- bahwa beliau hanya mengusap kaki dalam berwudhu’. Bahkan menurut sifat wudhu’ beliau yang telah dinukil secara mutawatir menyebutkan bahwa beliau membasuh kaki. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah telah menyebutkan riwayat-riwayat tersebut dalam kitab Tafsiirul Qur’aanil ‘Azhiim (II/28-31). 
  3. Tidak pernah dinukil dari seorang Sahabat pun yang berpendapat cukup dengan mengusap kaki dalam berwudhu’, kecuali sebuah pendapat yang dinukil dari ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas dan Anas r.a. Namun telah dinukil secara shahih bahwa mereka rujuk (meralat) kembali pendapat mereka tersebut. Atau dapat kita artikan mengusap yang mereka maksud di sini adalah mencucinya dengan cucian yang ringan sebagaimana yang akan disebutkan nanti insya Allah. Oleh sebab itu ‘Abdurrahman bin Abi Laila mengatakan, “Para Sahabat sepakat mewajibkan membasuh kedua kaki dalam berwudhu’.” 
  4. Kaum Syi’ah telah menyelisihi kesepakatan ini, mereka mewajibkan mengusap kaki dengan berdalil kepada zhahir sebuah bacaan, “Dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,” (Al-Maa’idah: 6).

    Mereka membacanya dengan khafadh (yakni arjulikum) karena menurut mereka kata “arjulikum” itu ma’thuf kepada kata “ru-uusikum”. Dalam hal ini mereka telah sesat lagi menyesatkan. Bentuk-bentuk bantahan terhadap perkataan mereka ini sangat banyak, kami akan menyebutkan beberapa di antaranya:

    1. Membacanya manshub (arjulakum) ma’thuf kepada kata (faghsiluu wujuuhakum wa aidiyakum) adalah bacaan yang zhahirnya menunjukkan wajibnya mencuci kedua kaki. Maka bacaan khafadh (arjulikum) harus dibawakan artinya kepada bacaan nashab (arjulakum), karena bentuk-bentuk bacaan Al-Qur’an yang mutawatir saling menjelaskan satu sama lainnnya. 
    2. Anggaplah yang kata “al-Mashu” dalam ayat di atas adalah mengusap kaki, namun maksudnya adalah mencucinya dengan cucian yang ringan, sebagaimana disebutkan dalam Sunnah Nabi berikut:

      Diriwayatkan dari an-Nazzal bin Sabrah dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a., bahwa suatu hari selepas mengerjakan shalat Zhuhur, beliau duduk untuk melayani kepentingan orang banyak di beranda masjid Kufah, hingga tiba waktu shalat ‘Ashar. Lalu dibawakan kepada beliau segayung air, beliau menciduknya sekali ciduk lalu membasuh wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki beliau. Kemudian beliau bangkit dan meminum sisanya sambil berdiri. Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya sebagian orang tidak suka minum sambil berdiri. Dan sungguh, Rasulullah saw, telah melakukan seperti yang aku lakukan ini.” Dan beliau berkata, “Ini adalah wudhu’ orang yang belum batal wudhu’,” (HR Baihaqi [I/75], dan riwayat asalnya terdapat dalam Shahiihul Bukhaari [5616]).

      Maka dari itu, mencuci kaki dalam wudhu’ hukumnya wajib dan harus. Adapun bacaan khafadh (arjulikum) dalam istilah nahwu disebut mujawarah, yaitu untuk menyelaraskannya dengan kata sesudah dan sebelumnya. Contohnya dalam firman Allah SWT, “Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal.” (Al-Insaan: 21).

      Orang Arab biasa mengatakan, “juhru dhabin kharbin”, perkataan seperti ini banyak dan sering digunakan dalam bahasa Arab.” 

    3. Berhubung dalam mencuci kaki sering terjadi israf (berlebih-lebihan dalam penggunaan air), maka dibaca khafadh, untuk menunjukkan anjuran mencucinya dengan cucian yang ringan tanpa berlebih-lebihan dalam penggunaan air. 
    4. Firman Allah SWT, “Dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,” (Al-Maa’idah: 6).

    Jelas maksudnya bukan hanya sekadar mengusapnya saja. Sebab hanya mengusap tidak dapat memenuhi target membasuhnya sampai mata kaki. Target tersebut hanya dapat dipenuhi dengan membasuh atau mencucinya. Itulah yang dimaksud dalam firman Allah, “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,” (Al-Maa’idah: 6).

    Penyebutan mata kaki menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan menyapu adalah mencuci atau membasuhnya, bukan hanya sekadar mengusapnya saja.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/279-282.