Larangan Berwudhu’ Dengan Sisa Air Wudhu’ Wanita

Diriwayatkan dari al-Hakam bin 'Amr al-Ghifari r.a. berkata, "Bahwasanya Rasulullah saw. melarang kaum lelaki berwudhu' dengan sisa air wudhu' wanita." (Shahih, HR Abu Dawud [82], at-Tirmidzi [64], an-Nasa’i [1/179], Ibnu Majah [373], Ahmad [IV/213] dan [V/66], ad-Daraquthni [I/53], dan al-Baihaqi [I/191]).

Diriwayatkan dari Humaid al-Himyari berkata, "Aku bertemu dengan seorang Sahabat Nabi yang telah menyertai beliau selama empat tahun –sebagaimana halnya Abu Hurairah menyertai Rasulullah-, ia berkata, 'Rasulullah saw. melarang kaum wanita mandi junub dengan air bekas mandi kaum laki-laki dan melarang kaum laki-laki mandi junub dengan sisa air mandi kaum wanita. Namun, hendaklah keduanya menciduk bersama-sama’," (Shahih, HR Abu Dawud [81] dan an-Nasa’i [I/130]).

Kandungan Bab:

  1. Larangan berwudhu' dan mandi janabah dengan menggunakan sisa air kaum wanita. 
  2. Ada beberapa hadits lainnya yang kelihatan bertentangan dengan hadits di atas, di antaranya:
    • Hadits 'Abdullah bin 'Umar r.a., "Dahulu, pada zaman Rasulullah saw., kaum wanita dan kaum lelaki berwudhu' bersama-sama.” (HR Bukhari [193]). 
    • Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Abbas r.a. berkata, "Salah seorang isteri Nabi saw. mandi dalam sebuah bejana. Lalu Rasulullah saw. hendak berwudhu' dari bejana tersebut. Lalu isteri beliau berkata, 'Wahai Rasulullah, tadi saya mandi di bejana itu.' Rasulullah saw bersabda, 'Sesungguhnya, air itu tidak bisa membuat junub’," (Shahih, HR an-Nasa’i [I/173], Ibnu Majah [371], Ahmad [I/235, 284 dan 308], Ibnu Khuzaimah [109], ad-Daraquthni [I/53], 'Abdurrazzaq [396], ad-Darimi [I/187], al-Hakim [I/195], dan al-Baihaqi [I/267]). 
  3. Para ulama telah berusaha menggabungkan antara hadits-hadits yang melarang dan yang membolehkan dengan beberapa bentuk penggabungan sebagai berikut:
    • Mendha’ifkan hadits-hadits yang membolehkan dan yang melarang dengan alasan telah terjadi idhthirab (kontroversi/pertentangan) antara keduanya. Pendapat ini dinukil dari Iman Ahmad. 
    • Kaum wanita boleh berwudhu’ dengan sisa air wudhu’ pria namun pria tidak boleh berwudhu’ dengan sisa air wudhu’ wanita. 
    • Hadits-hadits yang melarang, dibawa kepada larangan memakai sisa air secara terpisah. Karena hadits-hadits yang membolehkan zhahirnya membolehkan air yang dipakai secara bersama-sama. Ini adalah pendapat yang dinukil dari Ishaq dan Ahmad. 
    • Larangan memakai sisa air bersuci wanita yang sedang haidh. Pendapat ini dinukil dari ‘Abdullah bin ‘Umar, asy-Sya’bi dan al-Auza’i. 
    • Membawakan hadits-hadits yang melarang kepada makna menggunakan air sisa yang menetes dari anggota tubuh, dan dibolehkan memakai air yang tersisa dalam bejana. Ini adalah pendapat al-Khaththabi. 
    • Larangan tersebut dibawakan kepada makruh tanzih (bukan haram). Pendapat ini disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani.

Saya katakan, “Bentuk pertama hanya bisa dilakukan bila tidak ada kemungkinan menggabungkan kedua hadits tersebut, namun dalam kasus ini keduanya bisa digabungkan, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti insya Allah. Adapun bentuk penggabungan kedua, tertolak dengan hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas di atas. Bentuk penggabungan ketika tertolak dengan hadits ‘Aisyah r.a. yang berbunyi, ‘Aku dan Rasulullah saw. pernah mandi janabah dari satu bejana sehingga tangan kami saling berselisihan menciduknya,’ (HR Bukhari [261] dan Muslim [321] dan [45]).

Adapun bentuk penggabungan keempat dan kelima adalah pengkhususan tanpa didukung dalil. Bentuk penggabungan yang paling tepat adalah yang terakhir, yaitu membawakan larangan tersebut kepada makruh tanzih, wallahu a’lam.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/277-279.

Baca Juga