Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Apa hukum membaca tahlil, doa untuk arwah seseorang, dan surat Yasin pada suatu acara tertentu. Bolehkah kita mengawali dan mengakhiri suatu kegiatan dengan bacaan surat al-Fathihah? Syukran Jazilan
Esti Triana (Bekasi)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah wash shalah wassalam ala Rasulillah, amma ba’du..
Berdoa untuk mayyit hukumnya boleh berdasarkan dalil,baik dari katabullah dan sunah rasulillah shalallahu alaihi wasallam. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al hasyr : 10)
Sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim)
Adapun masalah menghadiahkan pahala kebaikan kepada orang yang sudah meninggal, ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian mereka membolehkan pada amalan amalan yang ada nashnya, seperti doa, sedekah, puasa, haji dan umrah. Selebihnya tidak. Karena menurut pendapat ini, ibadah adalah sifatnya taukifi atau paket. Tidak boleh melaksanakan suatu bentuk ibadah kecuali ada nash baik dari Qur’an maupun sunnah rasulNya.
Di antara hadis yang menunjukkan bolehnya sedekah untuk mayit adalah hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa ada seorang lelaki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ibuku mati mendadak, sementara beliau belum berwasiat. Saya yakin, andaikan beliau sempat berbicara, beliau akan bersedekah. Apakah beliau akan mendapat aliran pahala, jika saya bersedekah atas nama beliau?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya. Bersedekahlah atas nama ibumu.” (HR. Bukhari 1388 dan Muslim 1004)
Sedangkan pendapat yang kedua membolehkan untuk menghadiahkan semua jenis amal kebajikan kepada mayit. Dalil mereka adalah kiyas atau analogi. Seperti contohnya dibolehkan menghadiahkan pahala membaca Al Qur’an karena dianalogikan dengan bolehnya menghadiahkan pahala shodaqoh kepada mayyit.
Adapun masalah tahlilan dan yasinan yang dilakukan pada acara-acara paska kematian adalah perbuatan yang tidak ada contoh dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Bahkan hal tersebut termasuk niyahah (meratap) yang dilarang oleh rasulullah dan bagian dari dosa besar.
Dari sahabat Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
«كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ»
“Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, dan membuatkan makanan (untuk peserta tahlilan), setelah jenazah dimakamkan adalah bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (HR. Ahmad 6905 dan Ibn Majah 1612)
Pernyataan ini disampaikan oleh sahabat Jarir, menceritakan keadaan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat) sepakat, acara kumpul dan makan-makan di rumah duka setelah pemakanan termasuk meratapi mayat. Artinya, mereka sepakat untuk menyatakan haramnya praktik tersebut. Karena, niyahah (meratap) termasuk hal yang dilarang.
Dan acara tahlilan dan yasinan pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh dan seterusnya adalah bentuk tasyabuh atau menyerupai perbuatan orang-orang musyrik (Hindu). “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia bagian darinya” (hadis shahih riwayat abu dawud dan ahmad)
Sedangkan membaca surah Al Fatihah atau surah-surah yang lain dari Al Qur’an untuk mengawali suatu kegiatan adalah hukumnya boleh-boleh saja. Dengan syarat dibaca oleh satu orang dan yang lain mendengarkan. Tidak dibaca bersama-sama atau dipandu oleh satu orang, kecuali dengan tujuan untuk mengajari.
hal tersebut berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah `Aisyah :
كان النبي صلى الله عليه وسلم يذكر الله في شأن كل
Artinya : Bahwa Nabi Muhammad saw berzikir kepda Allah dalam segala keadaan
( H.R Bukhari ).
Diriwayatkan oleh Imam Hakim didalam kitab Mustadrak dari Abi Sa`id :
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا احتمعوا تذاكروا العلم وقرأوا سورة
Artinya : Para sahabat Rasulullah saw apabila mereka berkumpul, maka mereka bermuzkarah ilmu dan membaca surah ( dari al-Quran ).
Tapi tidak dipungkiri, sebagaian ulama seperti Syaikh Abdurrazak Al Afifi, Syaikh Bakr Abu Zaid dan Syaikh Al Utsaimin hafizhahumullah mengatakan bahwa memulai suatu majlis dengan bacaaan Al Qur’an tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Sedangkan dalil-dalil di atas adalah sifatnya umum. Tidak diketahui bagaimana sifat bacaan Al Qur’an yang dibaca oleh para sahabat. Apakah di awal majlis atau di pertengahannya.
Sedangkan pendapat yang menguatkan bolehnya membaca bagian dari Al Qur’an di awal majlis adalah perkataan Imam Nawawi didalam kitab at-Taqrib :
ويفتتح مجلسه ويختتمه بتحميد الله والصلاة والسلام على النبي صلى الله عليه وسلم ودعاء يليق بالحال، بعد قراءة قارئ حسن الصوت شيئا من القرآن العظيم
Artinya : Hendaklah dibuka dan ditutup majlis pembacaan hadits itu dengan memuji Allah , dam berdo`a dengan do`a yang sesuai keadaan, bersolawat kepada Rasulullah setelah pembacaan beberapa ayat al-Qu`an oleh Qori` yang memiliki suara yang bagus. ( Taqrib : , Tadribu Rawi bi sarhil Taqrib).
Wallahu a’lam.
Sedangkan untuk mengakhiri majlis Rasulullah mengajarkan doa kaffaratul majlis:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
(Subhaanaka Allaahumma wabihamdika asyhadu an laa-ilaaha illaa Anta astaghfiruka wa-atuubu ilaik)
Artinya :
Maha suci Engkau ya Allah, dan dengan memujiMu, aku bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali Engkau, aku mohon ampun dan bertaubat kepadaMu (hadits riwayat Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)
Wallahu A’lam