Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr.wb
Ustadz beberapa waktu yang lalu saya membaca di situs ini artikel tentang hukum calo dalam Islam yang ditulis oleh Dr. Ahmad Zain. Saya masih belum jelas terkait salah satu bentuk calo yang diharamkan yaitu PNS yang menerima upah/fee dari kegiatan kerjasama atau proyek, mohon dijelaskan??? Jazakallah
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Aby Nizam (Lombok, NTB)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas rasulullah amma ba’du:
Upah yang diterima oleh PNS dari kegiatan atau proyek hukumnya adalah haram. Hal tersebut adalah bagian dari Gartifikasi, yaitu uang hadiah yang diberikan pada pegawai di luar gaji yang yang telah ditentukan.
Sebagai contohnya adalah seorang pegawai yang mendapatkan tugas pengadaan barang. Kemudian pegawai tersebut berusaha mencari barang yang semurah-murahnya dengan harapan sisa dari uang anggaran tersebut masuk kantong pribadi.
Contoh-contoh yang lain cukup banyak di antaranya; Pegawai pemungut pajak tidak boleh mengambil upah dari para pembayar pajak. Karena dia sudah mendapatkan gaji bulanan. Dan juga pegawai yang menangani listrik tidak boleh menerima atau mengambil upah dari konsumen.
Adapun dalil-dalil yang melarang tersebut adalah:
Firman allah:
وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu “ (Ali Imran : 161)
Sabda Rasulullah Shalallah Alaihi Wasallam:
عن أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
Dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata : Nabi shallallahu a’laihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: “Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku”. Beliau bersabda : “Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik”. Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): “Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan”, sebanyak tiga kali.“ (Hadist Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim)
Berkata Badruddin Al Aini Alhanafi dalam Umdatul Qari Syarah Shahih Bukhari pada bab tidak boleh diterima hadiah dengan alasan tertentu;
مطابقته للترجمة تؤخذ من معنى الحديث لأن رسول الله أنكر على عامله المذكور على أخذه الهدية لأنها هدية تهدى لأجل علة
“Korelasi hadits tersebut dengan bab dapat diambil dari makna hadits itu sendiri. Yaitu Rasulullah mengingkari terhadap pekerja atau amil tersebut karena mengambil hadiah yang diberikan karena sebab tertentu.”
Hadits Rasulullah di atas sangatlah jelas maknanya. Walhasil gratifikasi hukumnya haram. Dan hal itu juga pada dasarnya sudah diatur oleh undang undang negara.
Menurut UU No. 20 tahun 2001, penjelasan pasal 12b ayat (1) , gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi,, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, mobil, rumah dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik ataupun tanpa sarana elektronik.
karena mau tidak mau, sadar atau tidak sadar gratifikasi akan mempengaruhi profesinal pejabat publik. Tingkat KKN seringkali berawal dari kebiasaan yang tidak disadari oleh setiap pejabat publik, misalnya penerimaan hadiah oleh siapaun dalam suatu kepentingan pribadi, atau menerima pemberian suatu fasilitas tertentu yang tidak wajar. Hal semacam ini semakin lama akan menjadi kebiasaan yang cepat atau lambat akan memengaruhi pengambilan keputusan oleh pelaksana pejabat publik tersebut . Banyak orang berpendapat bahwa pemberian tersebut sekadar tanda terima kasih dan sah-sah saja. Namun, perlu disadari bahwa pemberian tersebut selalu terkait dengan jabatan yang dipangku oleh penerima serta kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan dari pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu untuk kepentingan pemberi sebagai balas jasa.
Dan lebih parah lagi jika gratifikasi itu diminta oleh para pekerja atau para pegawai. Karena dengan hal tersebut berarti dia telah melanggar dua larangan sekaligus; Pertama: Dia telah meminta-minta. Padahal islam sendiri telah melarang ummatnya untuk meminta-minta. Sebagaimana disebutkan dalam shahih bukhari dan muslim:
مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.
“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya” Kedua: Gratifikasi, yang oleh sebagian ulama disebut sebagai tindakan ghulul (khianat).
Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan hadiah atau uang tambahan kepada pegawai bawahan yang miskin dan keadaannya sangat memprihatinkan, jika hal itu tidak mempengaruhi kerjanya dan tidak berdampak kepada instansi atau lembaga yang mengutusnya, umpamanya dengan memberikan kepadanya sesuatu setelah selesai bekerja dan dia tidak lagi membutuhkan pegawai tersebut.
Maka, sebaiknya dipisahkan antara pemberian hadiah karena pekerjaan dengan pemberian hadiah karena faktor lain, seperti ingin membantunya karena dia miskin atau karena dia sedang sakit dan membutuhkan uang. Walaupun demikian, sebaiknya jika seseorang ingin membantunya hendaknya memberikannya di waktu lain dan pada kesempatan yang berbeda, supaya menjadia lebih jelas bahwa dia memberikan hadiah itu semata-mata faktor kemanusiaan, bukan karena pekerjaannya. Itupun sebaiknya dihindari sebisa mungkin dan janganlah menjadi sebuah kebiasaan, demi menjaga diri kita dari sybuhat. Karena orang yang sudah terjerumus ke dalam sybuhat pada hakekatnya ia telah terjerumus pada yang haram sebagaimana yang telah dijelaskan oleh nabi kita Muhammad shalallahu alaihi wasallam.
Wallahu A’lam