Seorang laki-laki menderita sakit pada hari Arafah, dia belum bermalam di Mina, belum melempar Jumrah dan belum melakukan Thawaf Ifadzah. Apa sangsinya?
Jawaban:
Jika penyakit yang menimpa orang yang sakit pada hari Arafah itu penyakit yang tidak memungkinkan baginya untuk menyempurnakan ibadah haji, dan pada permulaan ihramnya dia telah memberikan syarat, “Jika saya berhalangan menyempurnakan ibadah haji, maka posisisku hanya sampai pada ibadah yang aku berhalangan melaksanakannya”, maka dia lepas dari tanggung jawab dan tidak wajib apa-apa atasnya. Tetapi jika hajinya itu adalah haji fardhu, maka dia harus mengulangnya pada tahun yang akan datang. Jika dia tidak menyaratkan, maka menurut pendapat yang rajih, jika tidak mungkin menyempurnakan hajinya, maka dia boleh bertahalul tetapi harus menyembelih hewan kurban, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,”Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat.” (Al-Baqoroh:196)
Kata “terkepung” berarti terkepung oleh musuh maupun terkepung oleh yang lain. Makna terkepung adalah jika seseorang terhalangi oleh suatu penghalang untuk menyempurnakan ibadahnya.
Maka dari itu, dia harus menyembelih hewan kurban dan tidak ada lagi kewajiban atasnya selain itu, kecuali jika dia belum mengerjakan kewajiban haji, maka dia harus haji lagi pada tahun berikutnya.
Adapun jika orang sakit itu terus melanjutkan perjalanan dalam hajinya dan mengerjakan Wukuf di Muzdalifah tetapi belum mabit (bermalam) di Mina dan belum melempar Jumrah, maka dalam keadaan seperti ini hajinya tetap sah dan mendapatkan pahalanya, tetapi dia harus membayar dam (denda) untuk setiap kewajiban haji yang ditinggalkannya. Dia harus membayar dua denda (dam); yaitu denda untuk mabit di Mina dan denda untuk melempar Jumrah.
Sedangkan Thawaf Ifadzahnya harus tetap dilaksanakan jika disembuhkan oleh Allah, karena Thawaf Ifadzah batasnya, menurut pendapat yang rajih, hingga akhir bulan Dzulhijjah, dan jika karena udzur hingga udzurnya hilang.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fataawaa Arkaanil Islam, atau Tuntunan Tanya-Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, Haji: Fataawaa Arkaanil Islam, terj. Muniril Abidin, M.Ag (Darul Falah, 2005), hlm. 592.