Menemukan Najis Setelah Umrah

Haji

Ada orang yang setelah selesai mengerjakan umrah menemukan najis di pakaian ihramnya, bagaimana hukumnya?

Jawaban:

Jika seseorang mengerjakan thawaf dan sa’i untuk umrah, setelah itu dia menemukan najis di pakaian ihramnya, maka thawaf, sa’i dan umrahnya sah. Demikian itu karena jika seseorang tidak tahu bahwa di pakaiannya ada najis atau mengetahui tetapi lupa mencucinya, lalu shalat dengan memakai baju itu, maka shalatnya sah. Begitu juga jika seseorang mengerjakan thawaf dengan pakaian najis karena tidak tahu, maka thawafnya sah. Dalilnya adalah firman Allah, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau salah.” (Al-Baqarah:286).

Ini merupakan dalil umum yang dianggap sebagai salah satu kaidah syariat yang besar. Ada dalil khusus dalam masalah ini, yaitu pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama shahabat-shahabatnya, dan di antara sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah shalat dengan mengenakan sepatu, lalu beliau melepas sepatu sehingga para shahabat pun melepas sepatu mereka. Ketika selesai shalat, beliau bertanya, “Mengapa kalian melepas sepatu?” Mereka menjawab, “Kami melihat engkau melepas kedua sepatumu, maka kami juga melepasnya.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Jibril datang kepadaku lalu memberitahuku bahwa di kedua sepatu saya ada kotorannya.”{Ditakhrij oleh Abu Dawud dalam kitab Ash-Shalah, bab “Ash-Shalah fi An-Ni’aal”,[650]}.Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengulangi shalat, padahal pada awal shalatnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memakai sepatu yang najis. Ini menunjukkan bahwa orang yang shalat dengan memakai pakaian najis karena lupa atau tidak tahu maka shalatnya sah.

Di sini ada masalah, jika ada seseorang makan daging onta dan langsung shalat tanpa berwudhu dulu, karena dia mengira memakan daging kambing, apakah dia harus mengulangi shalatnya?

Menurut kami, dia harus mengulang shalatnya setelah dia berwudhu.

Jika seseorang bertanya, mengapa Anda berpendapat tentang orang yang shalat dengan memakai pakaian najis karena tidak tahu tidak perlu mengulangi shalat, sedangkan orang yang makan daging onta karena tidak tahu harus mengulangi shalat?

Kami jawab, karena kami mempunyai kaidah yang penting lagi bermanfaat, yaitu bahwa “perintah tidak gugur karena tidak tahu dan lupa, sedangkan larangan bisa gugur karena tidak tahu dan lupa.” Dalil dari kaidah ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam , “Barangsiapa yang tertinggal shalatnya karena tidur atau lupa, maka hendaklah dia mengerjakannya ketika dia mengingatnya.”(Op.cit)

Jika seseorang hanya mengerjakan dua rakaat untuk shalat Isya karena lupa dan baru mengingatnya setelah salam, maka dia harus menyempurnakannya ketika ingat. Ini menjadi bukti bahwa perintah tidak gugur karena lupa, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan kepada orang yang lupa shalat untuk segera mengerjakannya ketika ingat dan kewajibannya itu tidak gugur karena lupa.

Sedangkan dalil bahwa perintah tidak gugur karena tidak tahu adalah ada seorang laki-laki datang, lalu dia mengerjakan shalat tanpa tuma’ninah, kemudian datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam seraya mengucapkan salam. Lalu Nabi bersabda kepadanya,”Ulangilah karena sesungguhnya kamu belum sahalat.” Beliau mengatakan demikian sebanyak tiga kali. Orang itu datang lagi, lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya kamu belum shalat.”{Ditakhrij oleh Al-Bukhori dalam kitab Al-Adzan, bab “Wujub Al-Qira’ah”, dan Muslim dalam kitab Ash-Shalah.}. Hingga akhirnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan kepadanya dan dia pun bisa mengerjakan shalat dengan benar. Orang itu meninggalkan kewajiban karena tidak tahu. Hal itu bisa diketahui dari perkataannya,”Demi Dzat yang mengutusmu dengan haq, tidak ada yang lebih baik dari ini, maka ajarilah aku.” Seandainya kewajiban bisa gugur karena tidak tahu, tentu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memaafkannya. Kaidah ini sangat penting dan bermanfaat bagi para pencari ilmu.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fataawaa Arkaanil Islam, atau Tuntunan Tanya-Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, Haji: Fataawaa Arkaanil Islam, terj. Muniril Abidin, M.Ag (Darul Falah, 2005), hlm. 576-577.