Larangan Bermain dengan Permainan yang Bathil

Diriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabah, ia berkata, “Aku melihat Jabir bin Abdullah al-Anshari dan Jabir bin Umair al-Anshari sedang saling melempar, lalu salah seorang mereka merasa jemu lalu iapun duduk. Temannya tersebut berkata kepadanya, ‘Apakah kamu sudah jemu? Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘segala sesuatu yang tidak termasuk dzikrullah ‘Azzawajalla berarti sia-sia dan permainan atau kelalaian kecuali empat hal: seorang yagn berjalan di antara dua barisan pasukan, menjinakkankuda, bermain dengan isterinya, dan belajar berenang’,” (Shahih, HR an-Nasa’i dalam kitab ‘Isyaratun Nisaa‘ [52]).

Ada beberapa hadits lain termasuk bab ini diriwayatkan dari Uqbah bin Amir dan Abdullah bin Amr r.a.

Kandungan Bab:

  1. Semua permainan itu bathil apabila melalaikan dari dzikir dan ketaatan kepada Allah.

    Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (XII/91), “Hal ini seperti seorang yang bermain apa saja, baik permainan tersebut dibolehkan ataupun tidak. Atau seperti seorang yang sibuk melaksanakan shalat sunnah atau membaca al-Qur’an, atau berdzikir, atau memikirkan makna-makna yang terkandung dalam ayat al-Qur’an hingga waktunya untuk shalat wajib habis dan ini ia lakukan dengan sengaja. Semua ini termasuk di bawah kaidah ini, walaupun syari’at menganjurkan untuk melakukannya, bagaimana jika hal tersebut sama sekali tidak ada anjurannya?”

  2. Adapun pengecualian dari hukum ini seperti memanah, menjinakkan kuda, berenang dan bermain dengan isteri juga termasuk bermain. Sebab hal ini mengandung kecondongan diri untuk mempelajari dan menyibukkan diri dengannya. Dari satu sisi perkara ini disebut permainan. Namun target utama dari permainan memanah, menjinakkan kuda, dan berenang yaitu untuk kepentingan jihad dan bermain dengan isteri agar timbul keakraban.
  3. Selain daripada itu disebut bathil dan bukan berarti hukumnya haram. Namun hal itu bisa membawa kepada kesesatan sebagaimana firman Allah, “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah…” (Luqman: 6).

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/378-379.