Pemuda tidak Shalat Melamar Perempuan

Shalat Khusyu

Ada seorang pemuda melamar anak perempuan seorang bapak, ketika ditanya, ternyata pemuda itu tidak shalat dan bapak yang ditanya itu hanya menjawab, “Semoga Allah memberinya petunjuk.” Apakah berarti bapak itu telah menikahkan anaknya dengan pemuda itu? Jawaban:

Jika pelamar itu tidak shalat berjama’ah maka dia termasuk orang fasik yang berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya serta menentang kesepakatan kaum Muslimin, karena shalat jama’ah merupakan ibadah yang paling mulia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa, halaman 222, juz 23, “Ulama sepakat bahwa shalat -yaitu shalat jama’ah- merupakan ibadah yang paling kuat, ketaatan yang paling mulia dan syi’ar Islam yang paling agung.” Hanya saja kefasikan itu tidak sampai mengeluarkannya dari Islam, sehingga dia boleh menikah dengan wanita muslimah, tetapi pemuda lain yang lebih istiqomah dalam beragama dan lebih baik akhlaqnya, walaupun mereka lebih sedikit harta dan pangkatnya, dia lebih berhak dinikahkan, seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits, “Jika datang kepadamu seorang pemuda yang kalian ridha kepada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia.” Mereka bertanya, “Ya rasulullah, walaupun dia miskin?” Beliau bersabda, “Jika datang kepadamu seorang pemuda yang kalian ridha kepada agama dan skhlaknya, maka nikahkanlah dia.” Sebanyak tiga kali.” (Ditakhrij oleh At-Tirmidzi)

Dalam shahih diriwayatkan, dari Abu Hurairah radhiyallahu Anhu berkata, Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam telah bersabda, “Kawinilah perempuan itu karena empat perkara: karena harta benda, keturunan, kecantikan, dan agama. Tetapi utamakanlah wanita yang taat kepada agama, pasti kamu akan bahagia.” (Al-Bukhari).

Kedua hadits ini menjadi dalil bahwa faktor utama yang harus diperhatikan dalam pernikahan adalah agama dan akhlak, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Seorang wali yang takut kepada Allah dan memikul tanggung jawab harus memperhatikan petunjuk Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam ini, karena dialah yang bertanggung jawab kelak pada hari kiamat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata: “Apakah jawabanmu kepada Para rasul?”(Al-Qashash: 65).

Kemudian Allah juga berfirman, “Maka Sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami), maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (Al-A’raaf: 6-7).

Adapun jika pelamar itu tidak shalat sama sekali, baik secara jama’ah maupun sendiri, maka berarti dia adalah kafir dan keluar dari Islam yang harus dicela. Namun jika dia bertaubat dan mengerjakan shalat, maka Allah menerima taubatnya jika taubatnya itu taubat yang ikhlas dan murni. Tetapi jika tidak mau bertaubat maka dia berhak untuk dibunuh karena kafir murtad dan tidak dikubur di pemakaman kaum Muslimin, tanpa dimandikan, tanpa dikafani dan tidak dishalatkan. Dalil atas kekafirannya dijelaskan dalam nash-nash, baik kitabullah maupun sunnah Rasulullah, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.”(Maryam:59-60).

Firman Allah, “Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih,” menjadi bukti bahwa seseorang ketika meninggalkan shalat dan mengumbar hawa nafsu bukanlah orang Mukmin.

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.”(At-Taubah:11)

Hal ini menunjukkan bahwa persaudaraan dalam beragama tidak terjadi kecuali dengan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. Tetapi sunnah menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan zakat tidak menjadi kafir jika dia tetap menyakini kewajibannya tetapi bakhil untuk mengeluarkannya. Maka tetaplah bahwa mendirikan shalat menjadi syarat bagi tegaknya ukhuwah imaniyah, bukan kefasikan, karena kefasikan tidak mengeluarkan pelakunya dari daerah ukhuwah imaniyah, seperti yang difirmankan Allah tentang cara mendamaikan antara dua kelompok Mukmin yang saling berselisih, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu.”(Al-Hujurat:10).

Dua kelompok Mukmin yang berperang itu tidak mengeluarkan mereka dari daerah ukhuwah imaniyah, tetapi membunuh seorang mukmin termasuk kekafiran seperti yang dijelaskan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lain-lain dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Mencaci maki orang Muslim adalah fasik dan membunuhnya adalah kafir.” (Al-Bukhari){Ditakhrij Al-Bukhori kitab Al-Iman, bab “Khauf Al-Mukmin An Yahbitha ‘Amaluhu Wahuwa Laa Yasy’ur”, dan Muslim kitab Al-Iman, bab “Qaul An-Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam ,sibab Al-Muslim Fusuq