Antara Ba’asyir dan Sharon

Majalah Time edisi 30 September 2002 menurunkan satu tulisan berjudul: Taking The Hard Road. Tulisan itu dibuka dengan kata-kata yang sangat memojokkan posisi Indonesia: Indonesia faces a tough choice: crackdown on extremist and risk an Islamic backlash or incur America’s wrath.

Kata majalah ini pula: Failure by Indonesia to act against JI or Ba’asyir, US officials say, could then precipitate a series of grave economic sanctions such as refusing aid and voting against assistance from International Monetary Fund.

Time sangat serius ‘berburu’ Ba’asyir. Sekurangnya, selama tahun ini, sudah empat kali (edisi 11 Februari, 1 April, 23 September, dan 30 September), majalah tersebut membuat laporan yang ‘memojokkan’ Ba’asyir. Pesan dari laporan-laporan tentang Ba’asyir itu sangat gamblang: Abu Bakar Ba’asyir, pimpinan PP Al-Mukmin Ngruki, Solo, adalah orang berbahaya bagi AS, dan karena itu harus ditangkap dan diperlakukan sebagai ‘teroris’.

Pada edisi 30 September pesan AS itu begitu jelas. Bahwa, jika Indonesia tidak menangkap Ba’asyir, maka Indonesia terancam mendapatkan sanksi ekonomi. Pada 16 September lalu, Presiden Bush menelepon Presiden Megawati. Konon, menurut Time, Bush meminta agar Megawati mengambil tindakan tegas terhadap Islam militan. Pada 17 September, Direktur Urusan Asia National Security Council AS, Karen Brooks, mengunjungi Jakarta, secara diam-diam.

Cerita tentang Ba’asyir, Omar al-Faruq, Agus Dwikarna, Fathurrahman al-Ghazi, dan sebagainya, di media-media Barat–juga pada sebagian media massa Indonesia–dibuat begitu menyeramkan. Seolah-olah Ba’asyir lebih berbahaya bagi bangsa Indonesia ketimbang gerakan Organisasi Papua Merdeka atau gerakan separatisme Uskup Belo yang telah sukses melepas Timtim dari Indonesia.

Kini–gara-gara politik terorisme AS–yang membabi buta terhadap ‘Islam militan’, Ba’asyir sedang dalam incaran serius. Jika pertahanan dan moral pemerintah RI jebol, bukan tidak mungkin, Ba’asyir akan segera ditangkap.

Kakek berusia 66 tahun ini dikenal lugas dalam berbicara. Ia berkali-kali menggugat ketidakadilan media massa internasional yang tidak adil dan tidak fair dalam menetapkan siapa yang teroris dan siapa yang bukan. Al-Qaeda dicap sebagai teroris, tetapi Israel malah diposisikan sebagai ‘pahlawan’ pemberantas terorisme. Padahal, kekejaman Israel sudah begitu kasat mata.

Uskup Belo

Tidak dapat dipungkiri, peran Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo dalam disintegrasi Negara Kesatuan RI sangat besar. Namun, pemerintah RI belum pernah berani menindak Sang Uskup, sampai Timtim dipaksa lepas dari Indonesia. Tahun 1996, Belo menggoncang politik Indionesia dalam wawancaranya di majalah Der Spiegel edisi 14 Oktober 1996. Kepada majalah Jerman itu, Belo menyatakan, “Tentara Indonesia telah merampas kemerdekaan dan menghancurkan kebudayaan kami, juga memperlakukan kami seperti anjing kudisan. Mereka tidak mengenal tata keadilan. Orang Indonesia memperlakukan kami seperti budak belian.” Judul berita itu sendiri adalah Sie Halten Uns Wie Sklaven (“Mereka Memperlakukan Kami Seperti Budak Belian”).

Pemerintah RI sangat berang dengan wawancara Belo. Menlu Ali Alatas sampai-sampai menemui Menlu Vatikan Mgr Jean Louis Tauran di Roma dan menyampaikan keprihatinan Indonesia terhadap ucapan-ucapan Belo, yang tahun itu juga dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian. Posisi Belo semakin naik, sebaliknya posisi Indonesia di mata internasional semakin jeblok.

Terlepasnya Timtim dari Indonesia juga sulit dilepaskan dari suksesnya kampanye Belo di dunia Barat, bahwa telah terjadi islamisasi di Timtim, sehingga menimbulkan simpati masyarakat Kristen internasional terhadap rakyat Timtim. Menurut Belo, islamisasi di Timtim difasilitasi oleh ABRI.

Bertahun-tahun Uskup Belo berkampanye di luar negeri bahwa di Timtim terjadi islamisasi. Padahal, fakta bicara lain. Yang terjadi di masa integrasi adalah katolikisasi, bukan islamisasi. Tahun 1972, orang Katolik Timtim hanya 187.540 dari jumlah penduduk 674.550 jiwa (27,8 persen). Tahun 1994, jumlah orang Katolik menjadi 722.789 dari 783.086 jumlah penduduk (92,3 persen). Tahun 1994, umat Islam di Timtim hanya 3,1 persen. Jadi dalam tempo 22 tahun di bawah Indonesia, jumlah orang Katolik Timtim meningkat 356,3%. Padahal, Portugis saja, selama 450 tahun menjajah Timtim hanya mampu mengkatolikkan 27,8% orang Timtim.

Melihat pertambahan penduduk Katolik yang sangat fantastis itu, Thomas Michel, Sekretaris Eksekutif Federasi Konferensi para Uskup Asia yang berpusat di Bangkok, menyatakan, “Gereja Katolik di Timtim berkembang lebih cepat dibanding wilayah lain mana pun di dunia.” Namun, ironisnya, Belo tak henti-hentinya menyebarkan isu terjadinya islamisasisasi di Timtim, sehingga dalam tahun 1995 dan 1996 terjadi pengusiran besar-besaran warga Muslim dari Timtim.

Tentang sikap Belo dan Barat itu, Prof. Bilver Singh, pakar politik Universitas Nasional Singapura mencatat: “Dalam kerangka itu, yang tampak adalah berlangsungnya apa yang dikatakan ‘Sindrom Perang Salib Lama’, di mana banyak negara Barat dan kelompok Kristen berupaya untuk membuat gambar negatif mengenai kebijakan Indonesia terhadap Timtim. Tuduhan-tuduhan jahat ini didorong oleh ketakutan, meski tak berdasar, bahwa benteng Kristen dan Katolik di Timtim akan dikepung oleh gerombolan-gerombolan Jawa Islam. (Singh, 1998: 305-311)

Pasca jajak pendapat, Belo tidak berhenti mengobok-obok Indonesia. Ia menyebut, kerusuhan pasca jajak pendapat itu sebagai genocide dan setingkat dengan pembasmian etnis di Bosnia-Herzegovina dan Rwanda. Belo menuduh TNI sebagai pihak paling bertanggung jawab terhadap kasus itu. TNI, katanya, menaruh dendam karena gagal mempertahankan Timtim. “Karena dendam itulah Timtim dibikin kacau tak karu-karuan,” kata Belo dari tempat persembunyiannya di Lisabon.

Saat itu pun, Belo sudah menuntut agar persoalan tersebut dibawa ke mahkamah internasional. Suara Belo tentang Timtim ketika itu juga mendapat dukungan dari Vatikan. Siaran pers Vatikan pertengahan September 1999 memuat hal-hal yang dikampanyekan Belo, termasuk soal genocide atas bangsa Timtim.

Kini, setelah Timtim merdeka, Sang Uskup juga terus menyerang Indonesia dan TNI. Malah, jemaat gerejanya di Timtim juga dilibatkan dalam urusan tuntutan dilakukannya peradilan internasional terhadap sejumlah perwira TNI dan sejumlah tokoh pro-integrasi. Pada Rabu (4/9/2002), Belo meminta dukungan internasional untuk menggelar pengadilan internasional bagi pelaku pelanggaran HAM berat di Timor Timur.

Permintaan itu diungkapkan Belo dalam surat yang dikirim ke pemerintah Timtim. Surat Uskup Dili ini–selain dikirimkan ke pemerintah Timtim–juga diedarkan dan dibacakan ke seluruh jamaah gereja Katolik sediosis Dili.

Nasib Belo terbukti ‘lebih baik’ dari Ba’asyir. Pemerintah Indonesia ‘tidak cukup nyali’ untuk menindaknya, karena faktanya Belo ‘bukan Muslim’ dan dibela penguasa dunia.

Ariel Sharon

Tokoh Yahudi ‘sekuler kanan’ dari Partai Likud ini juga sudah sangat tersohor kekejamannya. Dalam tayangan Panorama BBC, 17 Juni 2001, Jaksa PBB Richard Goldstone menyatakan, Sharon bisa diadili sebagai penjahat perang, karena terbukti bertanggung jawab atas pembantaian ribuan pengungsi Palestina di Shabra-Satila, 1982.

Sharon tidak pernah menyesali kunjungan provokatifnya ke komplek Al-Aqsha pada 28 September 2000, yang hingga kini telah memicu terjadinya pembunuhan terhadap lebih dari 1500 warga Palestina–dan mencederai ribuan lainnya. Kunjungan itu dimaksudkan sebagai upaya simbolik untuk menolak proses ‘pembagian kedaulatan’ Jerusalem yang ditawarkan oleh pemerintahan Ehud Barak kepada Palestina. Ironisnya, sikap keras Sharon malah mendongkrak popularitasnya, dan dia terpilih sebagai PM Israel dalam pemilu 6 Februari 2001.

Track-record Sharon dalam soal pembantaian terhadap warga Palestina sulit dilupakan. Tahun 1953, saat memimpin Unit 101, yang dibentuk untuk melakukan pembasmian di Tepi Barat, Sharon melakukan pembantaian di Desa Kibya dan membunuh 69 warga Palestina–setengahnya wanita dan anak-anak. Yang paling dramatis tentu saja saat menjabat Menhan Israel, tahun 1982, Sharon membiarkan terjadinya pembantaian terhadapm ratusan–ada yang menyebut angka 2000 jiwa–pengungsi Palestina oleh pasukan Kristen Phalangis.

Sharon hanyalah bagian kecil dari apa yang disebut oleh Roger Garaudy sebagai kebijakan negara Israel yang secara sistematis menerapkan metode ‘Terorisme Negara’. Kejahatan-kejahatan Sharon dan Israel justru terus dibela oleh penguasa dunia saat ini: AS. Israel ditetapkan sebagai partner utama AS dalam memerangi terorisme. Traditionally, Israel has been one of the United States’ staunchest supporters in fighting terrorism, begitu bunyi laporan Deplu AS bertajuk Pattern of Global Terrorism, yang diluncurkan 21 Mei 2002 lalu.

Politik AS itu sebenarnya mudah dipahami, karena AS sendiri bergelimang dengan dosa dan kejahatan. Prof Noam Chomsky dari MIT menyebut AS dan Israel sebagai ‘dua negara’ yang dipimpin oleh dua komandan teroris dunia. Serangan AS ke Afghanistan, disebutnya ‘lebih jahat dari serangan teroris’. Pengeboman Afghanistan adalah kejahatan yang lebih besar daripada teror 11 September.

Pada 16 Januari 2002, Human Right Watch yang berkedudukan di New York meluncurkan laporan pelanggaran-pelanggaran HAM sepanjang tahun 2001. Dalam laporannya, Human Right Report 2002, Human Right Watch menyimpulkan: AS dan pemerintahan George Walker Bush sebagai pelanggar HAM terbanyak di dunia. Lembaga ini juga mengecam keras tindakan Bush dan Jaksa Agung AS John Ashcroft, dalam kasus penangkapan lebih dari 1.100 warga Muslim atau Arab dalam upaya investigasi mencari pelaku aksi serangan 11 September 2001 ke WTC.

Jadi, di tangan penguasa dunia seperti ini, bisa dimengerti jika nasib Abu Bakar Ba’asyir berbeda dengan Belo dan Sharon. Kini terpulang kepada pemerintah Indonesia, apakah akan memihak keadilan atau terlibat dalam kezaliman global. []