Aneh, Pihak Kristen Tolak Piagam Jakarta (Tanggapan untuk Yonky Karman dan Herman Musakabe)

Piagam Jakarta (The Jakarta Charter) beberapa waktu yang lalu kembali memicu polemik. Dan lagi-lagi, kalangan Kristenlah yang terlihat gencar menyerang gentlemen agreement yang telah disepakati berbagai kekuatan ideologis (nasionalis Islam, nasionalis sekuler, dan Kristen) di Indonesia pada 22 Juni 1945 itu. Dua buah artikel di harian Kompas, Jumat, 4 Agustus 2000, yang berjudul “Hati-Hati Mengamandemen UUD” karya Herman Musakabe (mantan gubenur NTT) dan “Sekitar Sila Pertama Pancasila” oleh Yonky Karman (dosen dan pemerhati masalah sosial-budaya), menunjukkan betapa gigihnya kalangan Nashrani menentang penerapan Piagam Jakarta, khususnya frase “dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Pada 14 Juli 2000, Kompas juga sudah menurunkan artikel Yonky Karman (ketika itu dengan identitas sebagai rohaniwan) berjudul “Wajibkah Negara Mengontrol Kehidupan Rohani Umat”. Intinya adalah kekhawatiran Yonky atas munculnya kecenderungan dalam PAH I BP MPR untuk menetapkan rumusan “negara mewajibkan pemeluk agama melaksanakan ajaran agamanya.” Lebih bahaya lagi, menurut Yonky, adanya keinginan supaya rumusan Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam amandemen konstitusi.

Sebagai suatu alternatif pemikiran warga bangsa, gagasan Herman Musakabe dan Yonky Karman adalah sah-sah saja. Namun sayangnya, Kompas tidak memberi kesempatan kepada alternatif pemikiran lain tentang masalah itu, sehingga memunculkan dialektika pemikiran yang tidak sehat. Sebagai contoh, artikel yang saya kirimkan ke Kompas dengan judul “Wajar, Negara Mengontrol Kehidupan Rohani Umat!” pada 17 Juli 2000 tidak muncul di koran ini, sampai kemudian muncul lagi dua artikel dari Herman Musakabe dan Yonky Karman.

Sikap pihak Kristen yang mau menang sendiri dan “main ultimatum” seperti inilah yang sejak dulu mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Tidak ada diskusi yang sehat, tidak ada polemik yang indah, seperti yang terjadi di dalam BPUKI dan Panitia Sembilan perumus Piagam Jakarta. “Pokoknya,” jika Piagam Jakarta diterapkan, pihak Kristen (Indonesia Timur) akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Optimis benar dengan “kekuatan” yang dimilikinya, pihak Kristen tidak segan-segan memaksakan pendapat dan sikapnya.

Itulah yang sebenarnya terjadi pada 18 Agustus 1945. Natsir menyebut peristiwa pencoretan tujuh kata Piagam Jakarta itu sebagai “Peristiwa ultimatum terhadap Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan.

Alkisah, datanglah seorang utusan dari Indonesia bagian timur melalui opsir Tentara Jepang yang waktu itu masih berwenang di Jakarta. Utusan tersebut menyampaikan pesan kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Opsir Jepang itu mengaku membawa pesan dari umat Kristen di Indonesia bagian timur. Isi pesan itu pendek saja, “Ada tujuh kata yang tercantum dalam Mukaddimah UUD 1945 yang harus dicabut. Kalau tidak, Umat Kristen di Indonesia sebelah timur tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan. Tujuh kata yang harus dicoret itu adalah dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi seluruh pemeluk-pemeluknya.”

Dalam buku Beginilah Kemerdekaan Kita terbitan Forum Konunikasi Kristiani Indonesia Surabaya (1997), pendeta Dr. P. Oktavianus mencatat bahwa pemuatan tujuh kata dalam Mukaddimah UUD 1945 itu merupkan “ide akan membentuk Indonesia menjadi Negara Agama”, sehingga “Indonesia bagian timur dengan tegas menolak dan hanya mau bergabung dengan Republik jika Indonesia menjadi Negara Kesatuan.”

Jadi, menurut Oktavianus, penerapan Piagam Jakarta sama halnya dengan membubarkan Negara Kesatuan RI. Baik Yonky Karman maupun Herman Musakabe sama-sama menyebutkan bahwa rumusan Piagam Jakarta itu dicabut karena ditolak oleh utusan masyarakat dari Indonesia Timur. Alasan Yonky lebih tegas, “Orang Kristen dari Indonesia Timur menolak pencatuman agama mayoritas di dalam dasar negara, sebab pencantuman itu dikhawatirkan akan menimbulkan ekses yang tidak diinginkan semua pihak, yakni berkembangnya perasaan menjadi warga negara penuh dan menjadi warga negara kelas dua. Lebih jelek lagi, apalagi bukan cuma perasaan, tetapi kenyataannya nanti demikian.”

Seperti diketahui, PAH I BP MPR telah menyiapkan empat alternatif untuk amandemen ayat 1 pasal 29 UUD 1945. Alternatif pertama: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; kedua: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; ketiga: Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Herman dan Yonky melihat alternatif kedua merupakan alternatif terburuk bagi Indonesia. Ada tiga risiko besar, menurut Herman, jika alternatif kedua yang dipilih oleh MPR. Pertama, akan memojokkan golongan minoritas karena hal itu hanya berlaku untuk agama tertentu yang kebetulan mayoritas. Kedua, akan mendorong proses disintegrasi nasional karena golongan minoritas akan merasa diperlakukan tidak adil karena rumusan kedua itu hanya menguntungkan kelompok tertentu. Dalam bahasa Herman dikatakan, “Sebagian besar daerah di kawasan timur Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Kristen akan merasa terusik, paling tidak secara emosional.” Ketiga, akan berisiko lebih banyak bagi keutuhan bangsa dan negara.

Emosional

Ketakutan pihak Kristen terhadap Piagam Jakarta cenderung bersifat emosional dan membabi buta, sehingga apa pun yang berbau Piagam Jakarta selalu ditolak mentah-mentah. Itu bisa dilihat dalam kasus penolakan terhadap RUU Peradilan Agama (RUUPA) tahun 1989 dan juga RUU Pendidikan Nasional yang mewajiblan pendidikan agama-agama bagi selurh siswa oleh pihak Kristen.

RUU Peradilan Agama–yang kemudian disahkan menjadi UU No. 7 tahun 1989–juga dikaitkan dengan Piagam Jakarta. Ketika menolak RUU tersebut, Florentinus Subroto Wiyogo S. J. mengatakan, “Tiada toleransi untuk Piagam Jakarta!” Pastor S. Wijoyo menyatakan dalam tulisannya bahwa “RUUPA mengambil dari seberang.” Natsir menggugat pernyataan Pastor Wijoyo itu dengan ungkapannya, “Bagaimana kalau orang bertanya kepada Pastor, apakah agama yang beliau anut itu berasal dari pribumi Indonesia asli?”

Tulisan Frans Magnis Suseno di harian Kompas tanggal 16 Juni 1989 yang menentang RUUPA juga menunjukkan tingginya sensitivitas kaum Kristen terhadap keinginan kaum muslimin untuk memudahkan pengamalan agamanya. “Perundangan-undangan yang memuat pandangan satu agama saja akan memperlemah kedaulatan, wibawa, dan kekuasaan negara terhadap seluruh masyarakat, baik yang beragama lain maupun yang seagama? Apabila kita mau melihat-lihat ke arah negara-negara yang menjadikan salah satu agama menjadi agama negara atau salah satu agama yang sangat berpengaruh, kita menyaksikan satu hal yang jelas, yaitu bahwa gejolak-gejolak yang ditimbulkan oleh golongan ekstremis atau fundamentalis dalam agama itu tidak berkurang, melainkan justru bertambah. Diberi telunjuk jari mau memegang seluruh tangan,” tulis Frans Magnis.

Sikap ketakutan yang berlebihan (fobia) kalangan Kristen terhadap apa pun yang berbau Piagam Jakarta juga dapat dilihat pada saat penolakan terhadap rumusan draft Piagam Pernyataan Bersama Cendekiawan Indonesia yang berbunyi, “berupaya meningkatkan kualitas SDM Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan agama masing-masing.” Menurut Cornelius D. Ronowidjojo, tokoh PIKI, anak kalimat berdasarkan agama masing-masing itu berbau Piagam Jakarta sehingga permunculannya merupakan langkah mundur (set back ) sejarah.

Pihak Kristen juga menolak keras gagasan “demokrasi rasional proposional”. Bahkan, Oktavianus memberikan ultimatum: jika “demokrasi itu diterapkan, Indonesia bagian timur tentu akan terangsang untuk memisahkan diri dari Republik.”

Dari kasus ultimatum 18 Agustus 1945, ultimatum “demokrasi rasional proposional”, dan penolakan keras terhadap rumusan kedua PAH I MPR terlihat konsistensi pihak Kristen, terutama dalam soal “ancam-mengancam” pemisahan diri dari Negara Kesatuan RI.

Mengomentari ancaman pihak Kristen pada tahun 1945 itu, Natsir menulis, “Utusan tersebut tidak untuk mengadakan diskusi tentang persoalannya. Hanya menyampaikan satu peringatan. Titik! Tak perlu bicara lagi. Terserah apakah pesan itu diterima atau tidak. Asal tahu apa konsekuensinya. Itu berupa ultimatum. Ultimatum, bukan saja terhadap warga negara yang beragama Islam di Indonesia. Tetapi pada hakikatnya terhadap Republik Indonesia sendiri yang baru berumur 24 jam itu. Hari 17 Agustus adalah Hari Proklamasi hari raya kita. Hari Raya 18 Agustus adalah hari ultimatum dari umat Kristen Indonesia bagian timur. Kedua-dua peristiwa itu adalah peristiwa sejarah. Kalau yang pertama kita rayakan, yang kedua sekurang-kurangnya jangan dilupakan. Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus kita beristighfar. Insyaallah, umat Islam tidak akan lupa.”

Aneh

Dalam buku Risalah Sidang BPUPKI yang diterbitkan Sekretariat Negara (hlm. 216), tokoh Kristen Indonesia timur Latuharhary tercatat pernah menyatakan bahwa penerapan konsep itu akan dapat mengalami kesulitan dalam aplikasinya di berbagai daerah, khususnya ketika berhadapan dengan adat istiadat. Soekarno kembali meminta agar “tujuh kata” itu tidak dipersoalkan sebab itu adalah hasil jerih payah dan kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Tokoh kebatinan Wongsonegoro mengusulkan agar tidak usah diubah, tetapi ditambah “bagi pemeluk-pemeluk agama lain dengan jalan menurut agamanya masing-masing”. Akhirnya, Wachid Hasyim menandaskan agar pembahasan soal “tujuh kata” itu tidak diperpanjang lagi. Soekarno lalu kembali mengingatkan bahwa “tujuh kata” itu adalah “kompromi untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama.”

Penolakan yang membabi buta dari pihak Kristen terhadap Piagam Jakarta/rumusan kedua PAH I MPR 2000 memang aneh. Lebih aneh lagi, pihak Kristen juga tidak memilih rumusan ketiga (Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya), padahal orang-orang Kristen juga diperintahkan kitab suci mereka agar berpegang teguh kepada hukum-hukum agama mereka. “Janganlah kamu sangkakan aku datang hendak merombak hukum Taurat, atau kitab nabi-nabi; bukannya aku datang hendak merombak, melainkan hendak menggenapkan. Karena sesungguhnya aku berkata kepadamu sehingga lengit dan bumi lenyap, satu noktah atau satu titik pun sekali-kali tidak akan lenyap daripada hukum Taurat itu sampai semuanya telah jadi.” (Matius, 5:17-18; Lukas, 16 17;21:33). “Jikalau kamu mengasihi aku, turutlah segala hukumku.” (Yahya [Yohanes], 14: 15).

Menyimak kegigihan pihak Kristen dalam menghalangi kaum Muslim untuk menjalankan ajaran-ajaran agamanya, wajar jika muncul pandangan bahwa kaum Kristen tidak rela kaum Muslim menjadai Muslim yang baik. Selanjutnya, kaum Muslim dapat dijadikan sebagai sasaran empuk program “pemurtadan”. Keberatan dan ancaman pihak Kristen inilah yang dijadikan dasar argumentasi pihak-pihak lain (sekuler) untuk menolak Piagam Jakarta dan juga rumusan ketiga PAH I MPR.

Aneh! Sikap pihak Kristen memang benar-benar aneh. Jelas, soal ini bukanlah soal agama, tetapi sudah dipolitisasi. Orang Kristen yang baik seharusnya menyetujui Piagam Jakarta atau rumusan ketiga PAH I MPR. Jika kaum Muslim menjadi Muslim yang baik justru kaum minoritas akan terlindungi dan aman, karena Islam jelas mengharamkan penindasan dan kezaliman terhadap siapa pun. Pelaksanaan syariat Islam juga tidak sedikit pun mengganggu “kebebasan” dan “kedaulatan” kaum Kristen untuk menjalankan agamanya. Jadi, mengapa takut?

Sumber: Penyesatan Opini, Adian Husaini, M.A.