Wajar, Negara Mengontrol Kehidupan Rohani Umat

“Kekhawatiran” Yonky Karman (YK), seorang rohaniwan, melalui tulisannya berjudul “Wajibkah Negara Mengontrol Kehidupan Rohani Umat” di harian Kompas, 14 Juli 2000, mengandung berbagai bias opini, kerancuan pemikiran, dan penyesatan logika. Tidak adil jika “kekeliruan” semacam itu dibiarkan.

Kekhawatiran YK yang sedang menyelesaikan program doktoralnya (waktu itu, pen.) di Belgia, diungkap, menyusul munculnya kecenderungan dalam PAH I BP MPR untuk menetapkan rumusan “negara mewajibkan pemeluk agama melaksanakan ajaran agamanya.” Bahkan, lebih jauh lagi, dua fraksi menginginkan supaya rumusan Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam amandemen konstitusi dengan alasan negara sudah seharusnya membangkitkan umat Islam untuk menjalankan syariat agama.

Rumusan semacam itu dinilai YK sudah memasuki wilayah rohani umat beragama dan melampaui kodrat sebuah negara, apalagi sebuah negara demokrasi modern. Selain kontraproduktif, rumusan semacam itu dinilai YK akan menumbuhsuburkan kemunafikan baru di kalangan umat. Ringkasnya, negara hanya boleh memberikan iklim kondusif untuk berkembangnya nilai-nilai moral-relegius, mengharapkan warga negaranya agar beragama dari hati yang tulus, tidak ikut-iktuan, dan tidak munafik. “Akan tetapi, cukup sampai di situ saja. Lebih dari itu, seperti memberikan sanksi kepada pemeluk agama yang tidak serius, negara sudah bertindak di luar batas kewenangannya,” tulis YK.

Sanksi moral harus datang dari komunitas atau organisasi agama bersangkutan yang sudah mempunyai kodifikasi dan mekanisme kontrolnya tersendiri. Pemerintah tidak boleh ikut-ikutan memberi sanksi untuk penganut agama yang tidak serius atau menyimpang sejauh yang bersangkutan tidak melanggar hukum positif. Pemerintah, menurut YK, harus membiarkan perkembangan agama menurut dinamika internalnya sendiri dan baru masuk bila ternyata berkembang potensi-potensi konflik.

Wacana yang diungkap oleh YK sebenarnya wacana klasik berupa perdebatan antara negara agama dan negara sekuler yang hingga kini masih menjadi tema global di berbagai belahan dunia, khususnya di dunia Islam dan Hindu. Konsep negara sekuler menghendaki pembedaan yang jelas antara lokus “negara” dan lokus “publik” sehingga tidak terjadi pencampuradukan antara negara/politik dan agama, dan untuk menghindari apa yang sering diistilahkan sebagai “politisasi agama.”

Sementara itu, konsep negara agama–bukan teokrasi–dalam berbagai variannya lebih mendukung integrasi yang lebih erat antara negara dan agama, sebab antara negara dan agama (ad-dien wa daulah) adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak dipisahkan. Imam al-Ghazali berkata, “Dunia serta keamanan jiwa dan harta tidak tercapai kecuali dengan adanya penguasa yang ditaati. Oleh karenanyalah, orang mengatakan, ‘Agama dan penguasa (adalah) dua saudara kembar.’ Karenanya, orang mengatakan, ‘Agama adalah sendi, sedangkan penguasa adalah pengawal.’ Sesuatu yang tidak ada sendi akan hancur dan sesuatu yang tak ada pengawal akan sia-sia.” (Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fikih Islam [1991], hlm. 48-49).

Konsep penyatuan antara ad-dien wa daulah seperti yang dipahami Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, dan sebagainya oleh Donald E.Smith disebut sebagai konsep “religiopolitik organik” yang terbukti sangat sulit dirombak oleh paham sekularisme yang dibawa oleh kaum imperialis Barat. Sebagai paham yang inheren dengan budaya Kristen Barat yang disebarkan ke seluruh dunia, paham “pemisahan gereja dari negara” (sekularisme) memang telah menjadi suatu fenomena global. Proses menuju sekularisme (sekularisasi), menurut Smith, merupakan fenomena masyarakat politik modern sejak satu setengah abad yang lalu.

Smith memaparkan, pada awal abad ke-19, bahwa negara-negara di kawasan Asia Selatan dan Tenggara, Timur Tengah, Afrika Utara, dan Amerika Latin masih menerapkan sistem religiopolitik tradisional. Komponen idiologis dari sistem tersebut sepenuhnya diberikan oleh agama, sehingga di dalamnya tidak ada idiologi sekuler sama sekali. Ide-ide keagamaan menjamin keabsahan sistem tersebut dan terutama menjamin penguasanya yang memerintah. Hubungan vital antara agama dan pemerintah ini yang tersebar begitu luas hampir-hampir bersifat universal. (Smith (1985), hlm. 11).

Sistem religiopolitik tradisional tersebut kemudian mengalami kehancuran akibat berbagai serangan dari luar, baik dalam bentuk militer, politik, ekonomi, teknologi, sosial, intelektual, maupun keagamaan. Serangan dari luar–yang paling jelas adalah serangan militer dan politik di negara-negara yang dikuasai oleh imperialisme Barat–itu telah memporakporandakan komponen-komponen pokok sistem religiopolitik tersebut. Kehancuran itu merupakan awal dari sekularisasi yang merupakan salah satu aspek dari modernisasi politik.

Jika YK mengacu pada “konsepsi negara sekuler modern” untuk mencari formula yang tepat bagi hubungan antara negara dan agama, rumusan “negara mewajibkan pemeluk agama melaksanakan ajaran agamanya” tidaklah klop. Huntington lebih jauh menempatkan “sekularisasi” sebagai prasyarat terjadinya “demokratisasi.” Bagi Huntington, demokratisasi mustahil dilakukan tanpa proses sekularisasi, yakni pemisahan agama dan negara. Hasil penelitian Huntington menunjukkan bahwa agama Kristen terbukti kondusif bagi perkembangan demokrasi.

Pada tahun 1988, misalnya, ada 46 negara demokratis, 39 di antaranya merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Katolik dan atau Protestan, padahal di dunia ini ada 68 negara di mana Kristen Barat–Huntington membagi Dunia Kristen menjadi dua: Kristen Barat dan Kristen Ortodoks–merupakan agama dominan. Jadi, 57 persen (39 dari 68 negara) negara Kristen Barat adalah negara demokratis. Di pihak lain, dari 58 negara yang agama dominannya bukan agama Kristen Barat, hanya 7 negara (hanya 12 persen) yang dapat dikategorikan sebagai negara demokratis.

Jadi, simpul Huntington, demokrasi sangat jarang terdapat di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Budha, atau Konfusius. Mengapa bisa begitu? Huntington membuat alasan: agama Kristen Barat menekankan martabat individu dan “pemisahan gereja dan negara.” Di banyak negeri, pemimpin-pemimpin gereja Protestan dan Katolik telah lama merupakan sosok utama dalam perjuangan menentang negeri-negeri represif. Huntington lalu menyimpulkan, “Tampaknya masuk akal menghipotesiskan bahwa meluasnya agama Kristen mendorong perkembangan demokrasi.” (Huntington (1997), hlm. 89).

Bagi kaum Kristen, sekularisasi telah diterima sebagai suatu fakta bahkan kebenaran konseptual. Konsili Vatikan II mencatat, “Bila dengan otonomi hal ihwal duniawi dimaksudkan bahwa segala sesuatu yang diciptakan dan masyarakat sendiri mempunyai hukum-hukum dan nilai-nilainya sendiri, yang sedikit demi sedikit harus diselidiki, digunakan, dan diatur oleh manusia, wajarlah menuntut otonomi sedemikian itu. Otonomi semacam itu tidak hanya dituntut oleh manusia zaman sekarang, tetapi sungguh cocok juga dengan kehendak Pencipta sendiri.” (GS, 36: 2), (Banawiratma S.J. (1994), hlm. 17-19).

Akan tetapi, tidak demikian halnya bagi kaum Muslim. Masih banyak kalangan Muslimin yang melihat sekularisasi sebagai upaya Barat untuk mempertahankan hegemoninya atas kaum Muslimin. Dalam buku Christianity in World History, Arend theodore van Leeuwen mencatat bahwa penyebaran agama Kristen ke seluruh Eropa membawa pesan sekularisasi. menurut Leewen, hubungan erat antara gereja abad pertengahan dengan negara adalah salah dan “pencerahan” (renaissance) berhasil membawa misi sekularisasi Kristen ini kembali ke relnya. Secara umum, sejarah revolusioner Barat sampai sekarang adalah melanjutkan proses sekularisasi dan hal itu merupakan proses yang “tak bisa dihentikan dan terus berputar”.

Budaya sekuler, menurut Leewen, merupakan hadiah Kristen kepada dunia. Diharapkan, pertemuan budaya Barat dan budaya-budaya religius di Timur Tengah dan Asia akan memulai babak baru dalam sejarah sekularisasi. Dari pertemuan budaya itu, diharapkan umat Hindu akan melepaskan “mitos sanata dharma” (kewajiban-kewajiban tradisional) mereka dan umat Islam akan melepaskan “mitos otoritas syariat yang mengatur kehidupan.” (Jurgensmayer (1998), hlm. 29).

Rancu dan Gamang

Ada baiknya logika sekuler Yonky Karman (YK) dianalisis lebih rinci. Pertama, ia menolak rumusan “negara mewajibkan pemeluk agama melaksanakan ajaran agamanya.” Logika sebaliknya (mafhum mukhalafah), YK lebih menyetujui rumusan “negara tidak mewajibkan pemeluk agama melaksanakan ajaran agamanya.” Jadi, dalam negara jenis ini, negara hanya “mendorong” pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya. Rumusan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 selama ini menggunakan kata menjamin.

Artinya, sesuai logika YK, negara bersikap pasif dan cenderung tidak peduli apakah warganya menjadi orang yang taat beragama atau menjadi orang jahat. Betapa munafiknya sebuah negara yang menginginkan rakyatnya menjadi orang baik, tetapi tidak boleh mengontrol kehidupan rohani rakyatnya. Itulah konsep negara “banci” dan tidak bertanggung jawab.

Kedua, negara harus menjamin agar hak-hak asasi warganya terjamin, termasuk memberi kebebasan untuk beribadah dan menjalankan kehidupan agamanya sesuai keyakinan–sejauh pelaksanan kebebasan itu tidak melanggar kebebasan orang lain.

Sesuai dengan konsep YK tersebut, kaum muslim bebas menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran dan hukum Islam. Semua orang tahu, konsepsi “ibadah” dalam Islam tidak terbatas pada aspek ritual (ibadah mahdhah), tetapi juga mencakup pelaksanakan hukum-hukum Islam di bidang idiologi, ekonomi, sosial, pidana, dan politik. Hukum-hukum Islam itu tidak mungkin dilaksanakan secara individual atau komunal, tetapi memerlukan perangkat negara. Contoh kecil, dengan diberlakukannya undang-undang tentang perbankan dan perdagangan Islam di Bursa Efek Jakarta (BEJ), dibutuhkanlah kepastian hukum bagi kaum Muslim atau siapa pun yang melakukan transaksi ekonomi dengan cara syariah. Bagaimana dengan hukum-hukum Islam lain?

Apakah YK setuju jika masyarakat Islam sendiri membentuk pengadilan Islam? Kalangan Kristen terbukti sering tidak konsisten dengan pendapatnya. Dalam kasus RUU Peradilan Agama, misalnya, reaksi keras kalangan Kristen sangat berlebihan. Pater Florentinus Subroto Wijoyo menyerang RUUPA dengan mengatakan bahwa UUPA mengambil dari “seberang” dan suatu “adat asing berselubung agama.” Ia pun menegaskan, “Tiada toleransi untuk Piagam Jakarta.” (Majalah Hidup, No. 7, tahun 1989).

Reaksi keras semacam itu mengherankan, sebab UUPA hanyalah mengatur masalah internal kaum muslim, yaitu masalah nikah, talak, wakaf, dan waris. Kasus RUUPA dan penolakan keras terhadap Piagam Jakarta menunjukkan bahwa kaum Kristen tidak rela melihat kaum Muslim menjalankan hak asasinya untuk beribadah menurut agamanya sendiri, padahal kaum Kristen sama sekali tidak dirugikan hak asasinya. Mereka pun dipersilakan menjalankan ajaran dan hukum-hukum Kristen untuk mereka sendiri.

Ketiga, rumusan “negara mewajibkan pemeluk agama melaksanakan ajaran agamanya” adalah rumusan yang kontraproduktif dan menyuburkan kemunafikan. Logika YK terlalu simplistis dan sangat ganjil. Logika itu berangkat dari pengalaman sejarah negara-negara Kristen Barat yang mengalami trauma pahit dalam menjalankan pemerintahan teokratis. Bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim belum pernah menjalankan konsep semacam itu. Dalam berbagai hal, Malaysia yang kaum Muslimnya hanya 52 persen justru sukses menjalankan konsep semacam itu.

Konsep sekuler YK justru menumbuhsuburkan kemunafikan, sebab negara harus membiarkan saja pemeluk agama bersikap munafik–mengaku sebagai pemeluk agama, tetapi tidak menjalankan ajaran dan hukum-hukum agama. Kekuatan negara akan sangat membantu jika “tidak memberi peluang” terhadap berkembangnya kemunafikan. Selain “dakwah” dan “propaganda” kebaikan yang terus-menerus, negara harus bertindak untuk memberantas dan mencegah berkembangnya kemaksiatan. Tidak mungkin para dai, kiai, dan pendeta bertindak sendiri dalam memberantas kemungkaran. Negara harus bertindak aktif, karena itu memang tugas negara. Apakah harus FPI yang turun tangan sendiri?

Jadi, kekhawatiran YK tentang rumusan “negara mewajibkan pemeluk agama melaksanakan ajaran agamanya” adalah kekhawatiran yang berlebihan dan dangkal. Sebagai rohaniwan, seharusnya YK belajar dari sejarah di Indonesia bahwa kaum minoritas akan hidup aman dan tenteram jika hidup bersama dengan kaum Muslim yang benar-benar saleh dan tidak munafik.

Aneh sekali jika seorang rohaniwan seperti YK mengekspresikan kekhawatiran bahwa kaum Muslim akan menjadi kaum yang saleh dan bebas menjalankan agamanya. Apalagi, bagi banyak kaum Muslim, memperjuangkan rumusan “negara mewajibkan pemeluk agama melaksanakan ajaran agamanya” adalah ibadah.

Sumber: Penyesatan Opini, Adian Husaini, M.A.