Islam Indonesia dalam Demonologi Amerika

Selama 12 hari, 26 Juli hingga 3 Agustus 2002, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Colin Powell rencananya mengunjungi delapan negara Asia, termasuk Indonesia. Sebagaimana diberitakan Republika on Line (15/7), Jurubicara Deplu AS Richard Boucher di Washington Jumat (12/7) menjelaskan, dalam kunjungan itu Powell mengemban misi “mempertegas dampak serangan teror AS 11 September dan tumbuhnya kelompok militan”. Negara Asia yang bakal dikunjungi itu adalah India, Pakistan, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Filipina. Powell dijadwalkan ke Jakarta tanggal 2 Agustus 2002.

Dilihat dari misi yang diembannya, mudah diduga. “Safari Asia” Powell merupakan bagian dari apa yang disebut AS sebagai “kampanye anti-terorisme global”. Sasarannya jelas, melumpuhkan setiap kekuatan yang dianggap teroris dan menekan setiap pemerintahan negara di dunia untuk membasmi kelompok-kelompok teroris. Sayangnya, apa yang disebut ‘kekuatan teroris’ arahnya menuju organisasi dan aktivis Islam yang dianggap bisa mengancam kepentingan global AS.

Membidik Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia menjadi sorotan khusus AS. Pemerintah Washington bersama media massa dan antek-anteknya di mancanegara terus berusaha mencitrakan Indonesia sebagai negara yang dihuni kaum teroris. Pasca-tragedi WTC 11 September 2001, media massa AS aktif melakukan pelaporan tentang aktivitas gerakan Islam di Indonesia, mulai dari aksi-aksi demonstrasi anti-serangan AS ke Afghanistan, simpati umat Islam Indonesia kepada Usamah bin Ladin, hingga mencari-cari keterkaitan antara gerakan Islam Indonesia dengan Al-Qaidah (pimpinan Usamah bin Ladin) yang divonis AS sebagai pelaku serangan Gedung WTC. Kesan yang dimunculkan media internasional itu adalah militansi dan ekstremitas umat Islam Indonesia. Akibatnya, umat Islam Indonesia dinilai ekstrem oleh publik AS. Padahal, menurut pengamat Indonesia dari Univesitas Ohio, Prof. William Liddle, sebagian besar umat Islam di Indonesia sangat jauh dari kesan ekstrem dan kesan ekstrem itu hanya merupakan bahasa media yang menggeneralisasi semuanya (Republika, 10 Januari 2002).

Bidikan AS terhadap Indonesia dimulai dengan sinyalemen yang dilontarkan seorang pejabat AS, bahwa di Asia Tenggara ada tiga negara yang menjadi tempat beroperasinya jaringan Al-Qaidah, yakni Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Setelah itu, AS dan sekutu-sekutunya tampak terus mencari celah untuk melumpuhkan gerakan Islam Indonesia dengan dalih ‘terkait dengan jaringan Al-Qaidah’. Mula-mula Laskar Jihad yang jadi tersangka sebagai bagian dari jaringan Al-Qaidah. Gerakan Islam yang fokus aktivitasnya membantu umat Islam di Ambon/Maluku itu dituduh menerima kucuran dana dari Usamah bin Ladin. Tuduhan itu menghilang seiring adanya bantahan kuat dari Laskar Jihad dan karena tidak ada bukti. Lalu, muncul lagi isu bahwa jaringan Al-Qaidah ada di Poso. Tidak jelas organisasi mana yang jadi sasaran, namun isu itu pelan-pelan juga menghilang seiring banyak munculnya bantahan terhadap isu yang bersumber dari pernyataan Kepala BIN AM Hendropriyono itu.

Tidak berhenti di sana, dimunculkan lagi gerakan Islam yang menjadi tersangka sebagai bagian dari jaringan Al-Qaidah, yakni Majelis Muhajidin Indonesia (MMI). Kemunculan MMI sebagai tersangka boleh dikatakan melibatkan kekuatan internasional, dalam hal ini Malaysia dan Singapura, serta tentu saja AS. Status pemimpin MMI, Ustadz Abu Bakar Baasyir, sebagai terpidana kasus penolakan asas tunggal Pancasila beberapa tahun silam, bisa menyeret pemerintah Indonesia ke dalam kekuatan internasional yang memojokkan MMI dan citra gerakan Islam pada umumnya itu. MMI dituduh punya kaitan dengan jaringan Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin, setelah pada awal Januari 2002 lalu Polisi Diraja Malaysia menangkap 13 orang yang disebut sebagai anggota Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM). Tiga di antaranya dikabarkan orang Indonesia. Tidak lama setelah itu, polisi Singapura juga menangkap 15 orang yang diduga punya kaitan dengan Al-Qaidah.

Yang paling kontroversial, Menteri Senior Singapura Lee Kwan Yew terang-terangan menuduh Indonesia sebagai sarang para teroris. Menurutnya, pemimpin teroris masih berkeliaran di Indonesia (The Straits Times, 18 Februari 2002). Fitnah Lee itu mengundang reaksi keras dari kalangan umat Islam Indonesia. AS juga tampaknya menggunakan tangan Filipina untuk masuk dalam konspirasi membidik Indonesia. Tiga WNI yang dikenal sebagai aktivis gerakan Islam di Indonesia (Tamsil Linrung, Jamal Balfas, Agus Dwikarna) ditangkap di Manila dengan tuduhan membawa bahan peledak. Tamsil dan Balfas kemudian dibebaskan, sedangkan Agus harus tinggal lebih lama di Manila. Ia bahkan divonis 10 tahun penjara karena dinyatakan terbukti bersalah.

AS juga berusaha menekan pemerintah Indonesia agar bermain dalam kampanye anti-terorisme. Kalangan petinggi AS membuka suara agar Washington memberikan bantuan kepada militer Indonesia, selain bantuan ekonomi yang selama ini diberikan via IMF dan Paris Club. Di balik bantuan itu, sebagaimana diungkapkan sejumlah pengamat, AS sebenarnya hendak menekan pemerintah Indonesia agar melakukan penangkapan terhadap sejumlah tokoh Islam Indonesia. Yang sudah menjadi korban konspirasi itu adalah Panglima Laskar Jihad Ust. Ja’far Umar Thalib. Kedatangan Menlu AS Colin Powell ke Jakarta nanti, diduga merupakan bagian dari upaya penekanan itu. Bahkan, pengamat politik Islam dari Universitas Djuanda Bogor, Mustollah Maufur MA, jauh-jauh hari memberikan warning, agar kedatangan Powell ke Jakarta semestinya tidak mengusung agenda provokatif dengan dalih memerangi terorisme, yang kemudian menekan pemerintah bertindak represif atas tokoh-tokoh Muslim. Mustollah yakin, Powell bakal membawa misi dari Presiden George W. Bush yang secara garang akan memerangi terorisme dengan segala cara itu (Republika on Line, 15 Juli 2002).

Pelumpuhan Gerakan Islam Tragedi WTC 11 September 2001 merupakan justifikasi bagi AS untuk gencar berusaha melumpuhkan berbagai gerakan Islam di mancanegara, termasuk Indonesia. Dalihnya adalah “kampanye anti-terosisme”. Kampanye itu sendiri hakikatnya mengarah pada pembasmian dan pelumpuhan gerakan-gerakan Islam yang dianggap mengancam kepentingan global AS. Salah satu caranya adalah melakukan pembunuhan karakter (character assasinations) melalui pencitraan negatif –mengecapnya sebagai “organisasi teroris”– melalui media massa.

Benar kata Noam Chomsky –ahli linguistik dari Massachussetts Institute of Technology (MIT) AS–pemerintah AS memanfaatkan terorisme sebagai instrumen kebijakan standar untuk memukul atau menindas lawan-lawannya dari kalangan Islam. Dengan alasan “memerangi terorisme”, AS dan rezim-rezim sekutunya di berbagai negara merasa leluasa dan “berada di jalan yang benar” ketika membasmi gerakan-gerakan Islam penentangnya yang mereka sebut “kelompok fundamentalis Islam”.

Menurut Noam Chomsky, pemburukan citra Islam adalah bagian dari upaya Barat–khususnya AS–menata dunia menurut kepentingan mereka. Barat mengklaim diri sebagai pemegang supremasi kebenaran, sementara semua yang mengancam kepentingannya, dalam hal ini Islam atau komunitas Islam, atau bahkan yang tidak bersepakat dengannya dianggap berada di jalan yang sesat. “Media massa sekadar sarana pembentuk makna. Kesan buruk mengenai Islam perlu diciptakan agar penindasan Islam dapat dilakukan dengan persetujuan khalayak,” kata Chomsky.

Terbentuknya opini publik tentang gerakan Islam sebagai ancaman akibat pemburukan citra Islam tersebut dapat memberikan semacam legitimasi dan justifikasi bagi Barat dan antek-anteknya untuk membasmi siapa saja dan kelompok apa saja yang mengusung bendera Islam dalam perjuangannya. Umumnya, pembasmian itu dilakukan dengan pembubaran organisasi, penangkapan dan pemenjaraan para aktivisnya, membunuh atau menghukum mati para tokoh terasnya.

Contoh terhangat tentu saja pelumpuhan Al-Qaidah dan Taliban. Mula-mula dicitrakan sebagai organisasi teroris, dibekukan asetnya, dan diserang secara militer. Saya mengistilahkan kelakuan AS dan media massanya itu dengan “demonologi Islam” (lihat buku saya, Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam [Jakarta: GIP, 2000]).

Demonologi Islam artinya “penyetanan Islam”, yakni penumbuhan citra Islam sebagai demon (syaitan, iblis, atau hantu) yang jahat (evil) dan kejam (cruel). Ia adalah “perekayasaan sistematis untuk menempatkan Islam dan umatnya agar dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan”. Demonologi Islam menjadi bagian dari strategi Barat/AS untuk meredam kekuatan Islam –yang mereka sebut sebagai The Green Menace (Bahaya Hijau)– yang direpresentasikan oleh ragam gerakan Islam. Korban-korban atau objek-objek utama demonologi adalah, pertama, orang-orang atau kelompok/organisasi orang Muslim yang berjuang untuk menegakkan syi’ar Islam di bumi ini. Mereka adalah para aktivis harakah Al-Islamiyah (gerakan Islam) seperti Ikhwanul Muslimin (Mesir), Front Islamique du Salut (FIS, Aljazair), Harakah Muqawamah al-Islamiyah (HAMAS, Palestina), dan lain-lain.

Kedua, rezim atau pemerintahan negara mana saja yang berani menentang hegemoni Barat dalam percaturan sosial, politik, dan ekonomi dunia –seperti Imam Khomeini (Iran), Muammar Khadafi (Libya), dan Saddam Hussein (Irak), ataupun mereka yang berani coba-coba menerapkan syariat Islam dalam sistem pemerintahan–seperti Zia ul-Haq (Pakistan), Hassan Al-Basyir (Sudan), dan Taliban (Afghanistan).

Ketiga, para aktivis Muslim yang berjuang, baik atas nama Islam maupun atas nama komunitas Muslim di pentas dunia menentang kezaliman Barat dan antek-anteknya, seperti Syeikh Omar Abdul Rahman dari Mesir, Syeikh Ahmad Yassin (Palestina), Dr. Hassan At-Turabi (Sudan), Osama Bin Laden (Arab Saudi), dan Abdullah Ocalan (Kurdi-Turki).

Umat Islam Indonesia, khususnya para aktivis gerakan Islam, harus meningkatkan kewaspadaanya, sekaligus menyusun strategi perlawanan, termasuk mengkaunter isu-isu negatif yang dikembangkan AS. Gerakan Islam harus memperbaiki diri dari dalam, menata organisasinya dengan baik dan disiplin tinggi, serta mengendalikan perilaku anggotanya. Jangan sampai kesalahan yang diperbuat seorang aktivis gerakan dimanfaatkan AS untuk melakukan pelumpuhan secara leluasa. Konflik internal yang melanda sejumlah orsospol Islam merupakan lahan empuk bagi AS untuk melumpuhkan gerakan Islam. Strategi adu-domba atau “politik belah bambu” masih merupakan cara ampuh untuk menghabiskan energi dan kekuatan sebuah gerakan Islam. Maka, sadarlah dan waspadalah! Wallahu a’lam. []