Polemik tentang pendidikan agama di sekolah telah berlangsung panjang, sepanjang sejarah perjalanan Republik Indonesia.
Tulisan Darmaningtyas beberapa waktu yang lalu di harian Kompas, 11 juli 2000, kembali memancing munculnya polemik tentang wacana yang telah berlangsung panjang itu. Zainal Abidin Ahmad, seorang tokoh Masyumi, dalam pidatonya di depan Sidang KNIP, 18 Oktober 1949, mengusulkan pendidikan agama harus diajarkan menurut agama yang dianut oleh murid-murid yang bersangkutan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan argumentasi Masyumi untuk menetapkan mata ajaran pendidikan agama sebagai muatan kurikulum yang wajib diajarkan di sekolah. Akan tetapi, partai-partai sekuler, seperti PNI, berpendapat lain. Memaksakan pendidikan agama kepada anak didik berarti “memaksakan agama kepada rakyat”. Sejalan dengan pandangan sekularisme, negara tidak dibenarkan ikut intervensi dalam urusan agama, termasuk mewajibkan murid-murid sekolah untuk mempelajari agama. Tokoh-tokoh PKI bahkan menuduh Masyumi menggunakan pendidikan agama sebagai media untuk “mempropagandakan Islam” yang notabene adalah “ideologi Masyumi sendiri.”
Sejak dulu, persoalan pendidikan agama di sekolah-sekolah sudah menjadi persoalan politik dan memancing perdebatan keras di kalangan elite politik. Sidik Djojosukarto, seorang tokoh PNI, dalam suatu rapat di Makasar, 26 Desember 1953, menegaskan bahwa soal agama bagi PNI adalah sesuatu yang suci, sedangkan kenyataannya, dalam perjuangan politik seringkali harus melakukan tindakan curang dan kotor, yang akhirnya dapat menodai kesucian agama itu sendiri. Karena itulah, agama dan politik tidak dapat dicampuradukkan.
Sejak kemunculannya. RUU Pendidikan Nasinonal telah memancing reaksi keras, terutama dari kalangan Kristen. Reaksi keras itu bersamaan dengan kemunculan RUU Peradilan Agama. Berbagai polemik keras yang sarat dengan nuansa SARA bermunculan di media massa. Dalam sebuah pertemuan di masjid Istiqlal di Jakarta, KH. Sholeh Iskandar (alm.) membawa puluhan pimpinan pesantren, yang menyatakan siap berjihad untuk menggolkan kedua RUU tersebut.
Akhirnya, kedua RUU itu disahkan menjadi UU (UU No. 2 tahun 1989 dan UU No. 7 tahun 1989). Berbeda dengan UU No. 7 tahun 1989 yang tidak lagi memunculkan pro-kontra karena lebih mengatur urusan internal umat Islam, UU No. 2 tahun 1989 masih terus menjadi persoalan, terutama bagi sekolah-sekolah Kristen yang tetap menolak menyelenggarakan pendidikan agama Islam bagi murid-murid beragama Islam di sekolahnya.
Titik sentral protes kalangan Kristen adalah Pasal 28 Ayat 2 UU No. 2 tahun 1989 yang menyebutkan, “Untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, tenaga pendidik yang bersangkutan harus beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berwawasan Pancasila dan UUD 1945, serta memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar.”
Dalam bagian penjelasan Pasal 28 ayat 2 UU No. 2 tahun 1989 dikatakan, “Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan.”
Dalam bagian penjelasan Pasal 39 ayat 2 UU No. 2 tahun 1989 disebutkan, “Pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.”
Di samping alasan kemandirian dan HAM, pihak Kristen sering merujuk pada penjelasan Mendikbud Fuad Hasan di depan Komisi IX DPR RI, pada Oktober 1990. Dalam kesempatan rapat kerja tersebut, Mendikbud Fuad Hasan memeberikan penegasan bahwa sekolah yang berciri khas keagamaan tidak berkewajiban menyelenggarakan pendidikan agama lain di luar ciri khas keagamaan yang dianutnya. Ini berarti sekolah yang sejak semula telah menyatakan diri berciri khas keagamaan tertentu, hanya berkewajiban menyediakan pendidikan agama yang sesuai dengan ciri sekolah tersebut.
Sementara itu, kalangan Islam berpendapat, sesuai dengan UU No. 2 tahun 1989, seharusnya setiap peserta didik (siswa) harus mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Di mana pun dia berada. Logikanya, jika seorang Muslim bersekolah di sekolah-sekolah non-Muslim, sekolah tersebut harus memberikan pelajaran agama Islam kepada siswa yang muslim tersebut. Begitu juga sebaliknya, bagi siswa non-Muslim yang bersekolah di sekolah-sekolah Islam, sekolah-sekolah Islam tersebut harus mengajarkan pelajaran agama pada siswa non-Muslim tersebut.
Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional itu sendiri, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Seorang penganut agama mustahil dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaannya, sedangkan haknya untuk mendapatkan pendidikan agama, sesuai dengan agama yang dianutnya tidak dipenuhi. Demikian juga bagi siswa non-Muslim, seyogyanya mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya.
Sebagai hukum positif, UU No. 2 tahun 1989 berlaku umum, untuk sekolah jenis apa pun yang berada di bumi Indonesia. Hak siswa untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya juga ditegaskan dalam Pasal 16 ayat 2 PP No. 28 tahun 1990 (tentang Pendidikan Dasar) yang isinya, “(Siswa mempunyai hak) memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya.”
Dalam bagian penjelasan Pasal 16 ayat 2 PP No. 28 tahun 1990 dikatakan “Cukup Jelas”. Dalam Pasal 17 ayat 2 PP No. 29 tahun 1990, disebutkan, “(Siswa mempunyai hak) memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya.”
Yang hingga kini menyulut polemik adalah bagian penjelasan Pasal 17 ayat 2 PP No. 29 tahun 1990, yang menyatakan, “Sekolah menengah yang memiliki kekhususan atas dasar agama tertentu tidak berkewajiban menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang merupakan kekhususan sekolah yang bersangkutan.”
Penjelasan Pasal 17 ayat 2 PP No. 29 tahun 1990 itulah yang dituntut kalangan Muslim agar direvisi karena dipandang bertentangan dengan UU No. 2 tahun 1989 dan pasal-pasal dalam PP No. 28 dan 29 tahun 1990. Penjelasan tambahan Pasal 17 ayat 2 pada PP No. 2 tahun 1990 tersebut terkesan diada-adakan dan selama ini menjadi landasan yuridis bagi sekolah-sekolah Kristen/Katolik untuk tidak menyelenggarakan pendidikan agama Islam bagi siswa-siswa Muslim yang bersekolah di sekolah tersebut. Karena itulah, sejumlah pihak mendesak agar penjelasan pasal 17 ayat 2 PP No. 29 tahun 1990 itu direvisi.
KISDI, misalnya, ketika bertemu Mendikbud Prof. Dr. Ir. Wiranto Arismunandar, 20 Maret 1998, menuntut agar pemerintah segera mengambil inisiatif untuk merevisi PP No. 29 tahun 1990. KISDI juga mengimbau agar pengelola pendidikan non-Muslim, dengan jiwa besar, menghormati hak-hak siswanya untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dipeluk oleh siswa yang bersangkutan.
Kegigihan pihak Kristen untuk tidak memberikan pelajaran agama Islam kepada siswanya yang muslim memang telah menimbulkan berbagai kritikan keras dari kalangan Muslim, sedangkan perguruan-perguruan Islam –seperti Muhamadiyah di Kupang, NTT–justru menyediakan guru-guru agama Kristen bagi siswa dan mahasiswanya yang beragama Kristen. Sulit dielakkan munculnya persepsi kaum Muslim bahwa tujuan sekolah-sekolah Kristen memang bertujuan untuk memurtadkan orang Islam, seperti yang disebutkan dalam Surat Kongregasi Pendidikan Katolik tentang Sekolah Katolik, “Sekolah Katolik mempunyai tugas khusus membentuk murid-muridnya menjadi Kristen seutuhnya, dan tugas itu mempunyai arti istimewa sekarang, karena keluarga dan masyarakat tidak memadai.”
Konflik soal pendidikan agama dan UU No. 2 tahun 1989 adalah pihak Muslim dan Kristen bisa dikatakan menjadi salah satu duri di dalam daging atau api dalam sekam. Ada sederet kasus lain yang juga masih dibiarkan dan tidak dicarikan titik temunya, seperti kasus SKB Menag dan Mendagri No. 1 tahun 1969 tentang cara pendirian rumah ibadah, SK Menag No. 70 tahun 1978 tentang tata cara penyiaran agama, UU No. 1 tahun 1974, dan sebagainaya. Belakangan, muncul konflik lagi tentang perlu tidaknya disusun UU tentang kehidupan umat beragama di Indonesia.
Persoalan-persoalan itu lebih bernuansa keagamaan dan tidak terlalu dominan unsur politisnya. Karena itu, tudingan-tudingan seperti yang diungkapkan Darmaningtyas bahwa masalah pendidikan agama dan UU No. 2 tahun 1989 adalah masalah “politisasi agama” atau “sengaja dimunculkan untuk kepentingan politik tertentu (bagi penguasa)” merupakan kesimpulan superfisial yang dangkal dan dapat semakin memperkeruh situasi. Kehidupan pribadi Darmaningtyas yang lintas agama tidak bisa dijadikan teladan bagi kaum beragama, khususnya kaum Muslimin.
Impian Darmaningtyas, “Saya memimpikan semua murid memperoleh pelajaran agama yang sama sehingga mereka memiliki pengetahuan yang sama tentang semua agama, ” jika dilaksanakan hanya akan memancing reaksi keras kalangan agama dan dianggap memutar jarum jam sejarah ke belakang ketika rezim Orde Baru merencanakan pendidikan Panca Agama di sekolah. Kebijakan Ki Hajar Dewantoro untuk tidak mengajarkan agama di sekolah juga sudah menjadi bagian dari sejarah dan sangat berbahaya jika diangkat kembali menjadi cita-cita untuk diterapkan di dunia pendidikan nasional Indonesia.
Jika semua itu diungkap dan dijadikan polemik kembali, di tengah situasi konflik SARA yang cenderung eskalatif, hal itu akan memicu polemik dan konflik yang lebih tajam antarumat beragama, khususnya antara Muslim dan Kristen. Persoalan-persoalan–UU No. 2 tahun 1989, SKB No. 1 tahun 1969, SK Menag No. 70 tahun 1978 dan sebagainya–sebenarnya merupakan persoalan cabang yang berpangkal dari belum terselesaikannya akar konflik SARA di Indonesia.
Hubungan Islam-Kristen masih terus diwarnai kecurigaan. Kalangan Muslim terus dirisaukan oleh gerakan Kristenisasi dan dominasi minoritas Kristen di sejumlah bidang. Kalangan minoritas Kristen pun mengalami ketidaknyamanan dan bahkan kekhawatiran dalam menjalankan berbagai bidang kehidupan. Seharusnya, semua persoalan ini dibicarakan secara terbuka dan tuntas. Para tokoh agama yang berpengaruh terhadap umatnya harus duduk bersama dan menuntaskan persoalan tersebut. Upaya untuk membuang agama dari politik atau pendidikan bukanlah cara yang bijak. Upaya-upaya deagamisasi atau pendangkalan agama dari pengikutnya dan menggantikan “agama universal”–seperti yang diimpikan Darmaningtyas–akan memicu konflik horizontal yang lebih parah. Ini karena agama adalah sebuah realitas yang tidak bisa begitu saja dibuang dari kehidupan pemeluknya.
Sumber: Penyesatan Opini, Adian Husaini, M.A.