Pengkhianatan 18 Agustus 1945

Dalam pekan ini kita memperingati satu abad Bung Hatta. Peringatan ini mengingatkan kita akan jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia–sebagai proklamator, kepribadiannya yang sederhana, ditambah kepeduliannya akan ekonomi kerakyatan. Namun, ada “dosa politik” (kebaikan yang dimanfaatkan orang) yang telah dibuat bung Hatta berkenaan dengan pencoretan tujuh kata (melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dari Pembukaan UUD 1945.

Dua bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Mei 1945, para founding father negeri ini telah menyadari dekatnya kemerdekaan Indonesia, sehingga mereka membentuk suatu badan yang bertugas mempersiapkan perangkat-perangkat yang dibutuhkan untuk berdirinya sebuah negara yang berdaulat. Akhirnya, dibentuklah suatu badan yang bernama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 28 Mei dengan beranggotakan 62 orang yang diketuai oleh Dr. Radjiman Wediodiningrat. Pada sidang pertamanya tanggal 29 Mei 1945, Dr. Radjiman mengajukan satu pertanyaan penting yang merupakan tugas dibentuknya badan tersebut: Apa dasar dari negara yang akan kita bentuk?

Dalam sidang BPUPKI ini terdapat perbedaan tajam di antara dua kubu, kubu Islam–yang merupakan kubu terbesar dengan 35 orang anggota–yang menghendaki dasar negara ini berdasarkan Islam, dan kubu sekuler yang tidak menghendaki peran agama dalam negara. Perdebatan panjang itu tidak terselesaikan sampai tanggal 1 Juni. Setelah pidato Bung Karno selama satu jam dengan dipenuhi rayuan kepada para tokoh di kubu Islam agar mau berkorban untuk melakukan “kompromi politik”, dibentuklah sebuah panitia kecil beranggotakan sembilan orang: Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, Prof. Abdul Kahar Muzakir, KH. Wahid Hasyim, Mr. A.A. Maramis, H. Agus Salim, Mr. Muhammad Yamin.

Pada tanggal 22 Juni 1945, akhirnya panitia ini berhasil merumuskan suatu konsensus politik yang mencerminkan dan mewadahi aspirasi semua golongan. Konsensus para founding father tesebut kini kita kenal dengan nama Piagam Jakarta, atau seperti kata Mr. Muhammad Yamin Jakarta Charter. Prof. Dr. Soepomo meyebutnya dengan Perjanjian Luhur, sedangkan Dr. Sukiman menyebutnya dengan Gentlemen Agreement. Piagam Jakarta inilah yang seharusnya dibacakan pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia, sebagaimana diceritakan oleh Mr. Soebardjo: “Suatu kenyataan ialah bahwa teks dari proklamasi telah dirumuskan dalam apa yang dinamakan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Rumusan ini hasil dari pertimbangan-pertimbangan mengenai kata Pembukaan atau Bab Pengantar dari undang-undang dasar kita oleh sembilan anggota komite di mana Soekarno sebagai ketuanya.” (Mr. Ahmad Soebardjo, Lahirnya Republik Indonesia).

Sehari setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia, terjadi sebuah pengkhianatan kaum sekuler terhadap konsensus yang telah dibuat dengan susah payah. Salah seorang pembantu, Laksamana Maeda, memberitahukan Bung Hatta akan kedatangan seorang Opsir Jepang–yang sampai sekarang tidak diketahui identitasnya. Opsir tersebut menyampaikan “ancaman memisahkan diri” dari salah seorang tokoh Kristen Indonesia Timur, yang belakangan diketahui namanya Sam Ratulangi, seperti dijelaskan oleh Cornell University, seorang tokoh Politik Kristen Licik dari Minahasa. Meminjam istilah Prof. Kahar Muzakir, salah seorang perumus Piagam Jakarta yang kecewa, “Apa lacur 18 Agustus”. Dalam tempo yang singkat, sekitar lima belas menit saja, pada tanggal 18 Agustus 1945, sebuah kontrak sosial dan moral hasil perjuangan para perumus BPUPKI dicoret begitu saja.

Setelah 57 tahun kita merdeka, permasalahan krusial dasar negara ini belum selesai, sehingga kita belum mampu melakukakan apa-apa untuk membangun yang lainnya, karena memang dasar yang dibangun dengan kesepakatan telah dikhianati dan diganti dengan dasar kesepakatan semu yang rapuh. Berbeda dengan Malaysia yang membangun dasar negaranya dengan Islam dan non-Muslim yang mencapai kurang lebih 40%, penduduk menerimanya dengan lapang dada, tanpa rasa curiga. Mereka mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Sementara itu, minoritas non-Muslim di Indonesia mengancam akan memisahkan diri bila tetap ada kata Syariat dalam UUD 45. Walaupun tujuh kata telah dihapus, ternyata upaya pemisahan itu tetap dilakukan oleh kalangan Nasrani di Indonesia Timur. Peristiwa pembentukan Negara Indonesia Timur tanggal 7-8 Desember 1946, sebagai hasil Konfrensi Denpasar, juga gerakan separatis RMS, yang sampai sekarang masih menyisakan bibit pergolakan di Maluku, menjadi buktinya.

Jadi, masalahnya adalah sikap Islamophobia yang kental, buah propaganda orientalis, ditambah “mental pengkhianat” yang diidap kebanyakan tokoh Kristen, hasil kedekatan dengan penjajahan Portugis dan Belanda. Seorang guru besar Sekolah Tinggi Kristen di Jakarta, Th. Muller Kruger, mengomentari kedatangan penjajah: “Mereka hendak menanamkan salib di tengah-tengah bangsa kafir, bahkan dapat juga dikatakan bahwa merupakan semacam “Perang Salib” apa yang mereka lakukan. Perang salib yang penghabisan tidak mengikuti jalan-jalan yang semula. Sekarang musuh Islam “ini” diserang dari belakang; maksudnya untuk memotong dari sumber penghidupannya, penyeberan Injil sudah menjadi tujuan yang utama, bukannya sebagai pekerjaan sambil lalu saja, sebagaimana halnya dengan usaha-usaha bangsa Belanda dan Inggris kemudiannya.” (Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia [BPK: Jakarta, 1959). Jelaslah, bahwa yang menjadi masalah bukan pada teks asli Piagam Jakarta dengan pencantuman sayri’at Islam, seperti sering diungkap oleh beberapa tokoh kalangan Muslim yang “terkontaminasi” dengan propaganda Islamophobia, tetapi pengkhianatan atas konsensus politik umat Islam oleh kalangan tokoh sekuler.

Di sisi lain banyak kekecewaan dari kalangan tokoh Muslim yang merasa dikhianati oleh kaum nasionalis sekuler, sehingga akumulasi kekecewaan itu melahirkan gerakan perlawanan, seperti gerakan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Daud Beureuh di Aceh, Kahar Muzakar di Sulawesi, dan sebagainya. Kesemuanya itu seharusnya menyadarkan kita akan pengorbanan sia-sia anak bangsa yang tidak perlu terjadi. Begitulah, para pejuang Muslim yang telah mengorbankan ribuan nyawa dan darah untuk mengusir penjajahan dari bumi pertiwi ini, satu persatu, justru malah dikhianati, bahkan dibantai oleh penguasa Orde Lama. Meminjam istilah Dr. Yusuf Qardhawi dalam buku Umat Islam Menyongsong Abad 21: “Aktifis Islam menanam, orang sekuler yang menuai.”

Pada zaman Orde Baru, di mana terjadi marjinalisasi peran politik umat Islam, kurikulum pendidikan dasar sampai perguruan tinggi dikemas sedemikian rupa untuk kepentingan penguasa sekuler, banyak anak bangsa yang tidak mengetahui sejarah kemerdekaannnya sendiri. Kesemuanya itu ternyata hanya melahirkan pembangunan semu yang rapuh, pembangunan materiil yang berlandaskan utang, serta mengesampingkan pembangunan moral berlandaskan agama. Sejarah adalah catatan para penguasa, dan itulah yang terjadi sampai tumbangnya Soeharto dan datangnya era refomasi, yang membuka kembali kran kebebasan. Era ini harus dibarengi dengan merestorasi kembali catatan sejarah pada tempatnya, tentunya dengan kebesaran hati, dan kebesaran jiwa, tanpa distorsi dan tendensi, dan tentunya tanpa melupakan jasa para pahlawan kemerdekaan. Itulah yang harus dilakukan sebagai tanggung jawab sejarah. Dan, marilah mulai membangun dengan mendahulukan hati nurani.

Oleh: Nurhakim Zaki, Lc