Pada tanggal 27 November 2001, Koran Tempo menurunkan dua tulisan yang menarik untuk dicermati. Pertma, tulisan Denny J.A berjudul “Impuls Kebebasan di Kabul”; kedua, tulisan berjudul “Selamat Tinggal Taliban, Selamat Datang Anarki” yang mengutip sumber-sumber Guardian dan Frontier Post.
Dalam tulisannya, Denny J.A. menguliti dan mengutuk habis-habisan rezim Taliban. Dia mencatat, misalnya, “Rezim Taliban sudah memaksakan secara politik sebuah interpretasi Islam yang termasuk terburuk dalam sejarah.” Sebaliknya, Denny J.A. mengagungkan budaya (kultur AS) sebagai kultur masa kini dan masa depan yang telah membawa kemajuan yang luar biasa bagi umat manusia.” Dalam kultur itu, lahir kebebasan yang membawa demokrasi dan hak asasi menjadi gejala dunia. Dalam kultur Barat itu juga tumbuh perekonomian yang tak alang kepalang. Kesejahteraan dan kekayaan membuat hidup menjadi lebih mudah,” tulis Denny.
Melalui tulisannya, seolah-olah Denny ingin menyatkaan bahwa tindakan AS di Afghanistan yang membunuhi ribuan warga Afghan adalah “sah” dan dilakukan demi membebaskan rakyat Afghanistan dari penindasan rezim Taliban yang sangat biadab. Kira-kira, persepsi Denny tentang Taliban tak berbeda jauh dari persepsi Paul Wolfowitz. dalam wawancara dengan majalah Tempo (25 November 2001), Wolfowitz menyatakan, “Tindakan mereka sangat kejam, tak pernah ada pemerintahan lain yang berlaku sekeji itu pada masyarakatnya sendiri.”
Di dalam tulisan kedua, Koran Tempo mencatat, “Satu-satunya sosok yang bisa mengatasi keadaan anarkistis yang berlarut-larut itu hanyalah Taliban, gerakan yang pamornya semakin tenggelam setelah serangkaian kekalahan yang dialaminya di medan perang.” Juga diungkap komentar Oemary, penanggung jawab sementara kantor PBB Program Makanan Dunia (WFP), “Terus terang, kami tidak suka kepada orang-orang Taliban, tapi kami juga tidak senang para orang-orang bersenjata ini.” Oemary menunjuk pada pasukan-pasukan liar yang waktu itu menguasai Jalalabad.
Siapa Lebih Kejam?
Untuk mengukur kekajaman Taliban, Denny menggunakan tolok ukur peraturan Taliban tentang jenggot, cadar, dan bioskop. Jika Denny mau membuka-buka khazaah fiqh Islam, dia akan mendapati hal itu sebagai hal biasa saja. Kasus cadar sempat menyeruak di berbagai belahan dunia Islam–termasuk di Sumatra Utara–karena sebagian mahasiswi muslim meyakini kewajiban pemakaiannya. Menurut Yusuf Qardhawi, masalah cadar masih diperselisihkan para ulama, baik dari kalangan ahli fiqh maupun ahli hadits, sejak dulu hingga sekarang. (Lihat Fatwa-Fatwa Kontemporer [1995], jld. II, hlm. 424 — 466).
Kebijakan Taliban soal jenggot dan bioskop pun bisa mengundang perdebatan. Akan tetapi, mengukur “kekejaman Taliban” dari hal-hal seperti itu tentu naif. Majalah Time edisi 26 November 2001 menampilkan sejumlah foto wanita Afghan yang tersenyum riang setelah membuka cadarnya, juga sejumlah pria yang menonton foto-foto seronok sambil tersenyum-senyum. Menariknya, di halaman 24 — 25, Time memasang foto wanita Afghan yang membuka cadarnya (tetap berkerudung) dikelilingi sejumlah wanita yang bercadar. Foto itu memberi makna bahwa pasca-lengsernya Taliban ternyata tetap banyak wanita Afghan yang memilih bercadar. Jadi, cadar memang bukan hal asing bagi wanita Taliban.
Kritik terhadap Taliban tentu sah-sah saja, bahkan di antara kaum muslim sendiri banyak yang telah memberikan kritik terhadap Taliban. Akan tetapi, apakah karena hal itu lalu AS “halal” melakukan pembantaian terhadap warga Afghanistan atas nama “berburu teroris”? Berapa juta orang yang sudah dibunuhi oleh Taliban? Lihatlah bagaimana sikap fair dan manusiawi Taliban terhadap seorang wartawati Inggris, juga terhadap delapan misionaris yang ditawan. Tidak seorang pun yang dilukai Taliban ketika mereka meninggalkan Kabul.
Jika Denny dan Wolfowitz menyebut Taliban sebagai rezim terbutuk dan terkejam di muka bumi, cobalah bandingkan dengan kekejaman berbagai rezim AS di negerinya sendiri (yang membantai warga Indian dan Negro), di Nagasaki dan Hirshima, Vietnam, Palestina, Irak, Iran, Afsel, Cili, Indonesia, dan sebagainya. Prof. Edwar S. Herman, Guru Besar Pannsylvania University, lebih objektif ketimbang Denny J.A. dalam membeberkan data dan fakta perilaku AS di muka bumi.
Edwar S. Herman, Guru Besar di Universitas Pannsylvania, dalam bukunya The Real Terror Network (1982), mengungkap fakta-fakta keganjilan kebijakan terorisme AS. AS adalah pendukung rezim-rezim “teroris” Garcia di Guatemala, Pinoche di Cili, dan rezim apartheit di Afsel. Pada tahun 1970-an, AS memasukkan PLO, Red Brigades, Cuba, Libya sebagai teroris, tetapi rezim Afsel dan sekutu-sekutu AS di Amerika Latin tidak masuk dalam daftar teroris, padahal pada 4 Mei 1978, tentara Afsel membunuh lebih dari enam ratus penduduk di kamp pengungsi Kassinga Namibia. Sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Tentara Afsel juga terbukti membunuh ratusan penduduk sipil Angola. Jumlah itu jauh lebih besar dari korban serangan PLO dan sebagainya.
Terorisme sekutu utama AS di Timur Tengah–Israel–dan tokoh-tokohnya juga sangat telanjang. Menachem Begin, misalnya, adalah tokoh kelompok teroris Yahudi “Irgun” yang terkenal kebrutalannya dalam aksi pembantaian di Deir Yasin, 9 April 1948. PM Israel Arel Sharon, dalam tayangan Panorama BBC, 17 Juni 2001, oleh Jaksa PBB Richard Goldstone dinyatakan harus diadili sebagai penjahat perang karena terbukti bertanggung jawab atas pembantaian ribuan pengungsi Palestina di Shabra-Satila, 1982.
Koran Tempo (12 November 2001) menurunkan berita berjudul “Noam Chomsky: Lebih Jahat dari Serangan Teroris”. Profesor linguistik di MIT itu menyimpulkan, “Pengeboman Afghanistan adalah kejahatan yang lebih besar daripada teror 11 September.” Pendekatan Barat terhadap konflik Afghanistan adalah pendekatan yang didasari pandangan picik dan sangat berbahaya. “As adalah terdakwa negara teroris,” tegas Chomsky.
Chomsky dan Herman mungkin “tidak lebih tahu” tentang AS ketimbang Denny J.A. yang bertahun-tahun hidup di AS. Akan tetapi, fakta menunjukkan, jika AS ingin membebaskan warga dunia yang tertindas, harusnya AS melakukan hal yang sama terhadap rezim-rezim diktator di berbagai belahan dunia.
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk membaca misi AS di Afghanistan. AS sedang memperlancar misi imperialistisnya. Dari dulu AS sudah tahu siapa Taliban. Seperti diungkap Mackenzie (1999), beberapa jam setelah Taliban menaklukan Kabul, September 1996, Glyn Davies, pejabat pembantu Juru Bicara Deplu AS, menyatakan bahwa AS tidak punya keberatan penerapan hukum Islam versi Taliban di wilayah-wilayah yang dikuasainya.
Banyak harapan AS pada Taliban. Di antaranya, AS mengharapkan Taliban sebagai “buldog” untuk mengamankan proyek pipanisasi minyak dari negara-negara eks-Soviet yang melalui Afghan menuju Pakistan. Berulang-ulang pejabat-pejabat AS melakukan pertemuan dengan pejabat Taliban. Data kebutuhan minyak AS yang dkeluarkan Energy Information Administration menunjukkan bahwa pada tahun 2020, AS harus mengimpor minyak sekitar 18,8 juta barrel per hari.
John J. Maresca, Vice President International Relations UNOCAL Corporation, pada 12 Februari 1998 memaparkan alternatif rencana pipanisasi minyak sepanjang 440 mil melalui Afghnistan. Jalur pipanisasi inilah yang paling menguntungkan. Ia mengakui, UNOCAL telah melakukan kontak dengan semua faksi di Afghanistan untuk memuluskan rencana tersebut.
Apakah AS membawa kesejahteraan dunia, seperti diungkap Denny J.A.? Berbagai kemajuan AS–terutama dalam bidang iptek–wajib dicontoh. Akan tetapi, dunia tentu tidak silau dan tidak perlu otak yang terlalu pintar untuk melihat bahwa sebagian besar penduduk bumi justru menderita hidup di bawah kekuasaan “Sang Kaisar AS”.
Sumber: Penyesatan Opini, Adian Husaini, M.A.